Bola Liar Hak Angket Terkam Siapa?

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 26 Februari 2024 17:31 WIB
Ilustrasi - Hak Angket DPR RI (Foto: Dok MI/Ist/Net)
Ilustrasi - Hak Angket DPR RI (Foto: Dok MI/Ist/Net)

WACANA pengguliran hak interpelasi dan hak angket yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu 2024, secara normatif, bisa dilakukan.

Bakal menerkam siapa? Dua kemungkinan dapat memengaruhi hasil pemilu 2024 dan bahkan memakzulkan Presiden Joko Widodo. Pemakzulan ini sebenarnya dihembuskan Petisi 100 sebelum adanya usulan hak angket tersebut, kini jadi perbincangan elite-elite.

Ganjar Pranowo dari kubu 03 sebelumnya mengatakan hak angket menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban KPU dan Bawaslu terkait dengan penyelenggaraan Pilpres 2024 yang diduga sarat dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Usulan penggunaan hak-hak ini kemungkinan akan dibahas pada pembukaan sidang DPR pada Maret mendatang.

Sementara kawan Ganjar dari kubu 03, Mahfud Md mengatakan apabila terdapat unsur pidana dalam temuan dari hak angket yang digulirkan oleh partai politik di DPR, maka pemakzulan bakal diproses tanpa terikat waktu.

"Tetapi jika ada akibat hukum pidana dari temuan dan keputusan politik Angket, betapa pun lambatnya, masih bisa terus ditindaklanjuti tanpa terikat periode," ujar Mahfud yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) di X seperti dikutip Monitorindonesia.com, Senin (26/2).

Kendati, mantan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) itu menyampaikan bahwa pemakzulan Presiden tidak bisa seenaknya.

Bukan tanpa alasan Mahfud bicara demikina, karena sudah diatur sedemikian rupa agar tidak dilakukan sewenang-wenang. "Pemakzulan memang perlu waktu lama dan hati-hati. Diaturnya memang begitu agar tak sembarangan bisa memakzulkan Presiden. Tidak bisa buru-buru agar tak sembarangan".

Bagi Mahfud, sengketa Pemilu 2024 bisa diselesaikan melalui jalur hukum dan politik. Khusus jalur politik, menurutnya, tidak bisa sampai membatalkan hasil Pemilu. 

Hanya saja, dapat menjatuhkan sanksi politik terhadap Presiden. "Jalur politik melalui angket di DPR yang tak bisa membatalkan hasil pemilu tapi bisa menjatuhkan sanksi politik kepada Presiden, termasuk impeachment, tergantung pada konfigurasi politiknya," kata Mahfud.

Hak angket ini pun juga disoroti Prof. Jimly Asshiddiqie. Sama dengan Mahfud Md sebagai mantan Ketua MK juga, Jimly menyatakan bahwa pelaksanaan hak angket dapat dilakukan bersamaan dengan penyelesaian pelanggaran di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun sengketa perselisihan hasil di MK.

Menurut pakar hukum tata negara ini, hak angket atau penyelidikan sebagai sarana pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan adalah jalan konstitusional.

Opsi itu, tambah Ketua MKMK ini, bahkan selalu digunakan DPR di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. 

Justru di masa pemerintahan Presiden Jokowi, hak angket DPR belum pernah digunakan. ”Hak angket oleh DPR mencerminkan berjalannya fungsi checks and balances antar-cabang kekuasaan eksekutif versus legislatif,” ujarnya kemarin (25/2).

Karena itu, rencana penggunaan hak angket sebagai proses politik di parlemen harus dilihat secara positif saja. 

Pendapat tersebut senada dengan yang sebelumnya disampaikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Bahwa hak angket DPR baik untuk kedua pihak (penggugat dan tergugat). 

Hak angket, kata JK, juga dapat digunakan pihak tergugat untuk melakukan klarifikasi terhadap kecurigaan kecurangan pemilu. Karena itu, JK menyarankan pihak tergugat tidak perlu khawatir jika memang tidak merasa bersalah.

Jimly melanjutkan, meski ada proses di DPR, proses hukum di peradilan seperti di Bawaslu hingga MK harus pula dimanfaatkan untuk menyalurkan aspirasi ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pemilu.

Dua proses itu sama-sama penting dan punya peran untuk memastikan pemerintahan terpilih legitimate. Namun, Jimly mengingatkan, anggota DPR harus memahami batas-batas kewenangannya. Jangan sampai melebar dan jadi bola liar.

”Tidak melebar kepada isu-isu liar seperti pemakzulan presiden, pembatalan hasil pemilu, dan lain-lain yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP,” imbuhnya. 

Karena itu, tambah dia, aspek jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan benar-benar tidak terganggu. ”Untuk menjamin jangan sampai terjadi kevakuman kekuasaan menurut UUD 1945,” kata mantan ketua Majelis Kehormatan MK itu.

Siapa Bilang Tidak Cocok?

Mahfud MD menekankan, pelaksanaan pemilu sangat boleh diuji dengan menggunakan hak angket oleh DPR. ”Kalau bolehnya sangat boleh. Ini kan sekarang seakan disebarkan pembicaraan juru bicara-juru bicara untuk mengatakan angket itu tidak cocok. Siapa bilang tidak cocok,” kata Mahfud di Sleman, Jogjakarta, kemarin.

Dia menekankan, angket yang diberlakukan DPR bukan untuk pemilu-nya. Melainkan untuk kebijakan yang berdasar kewenangan tertentu. Karena itu, yang bisa diangket adalah pemerintahnya. ”Kalau ada kaitan dengan pemilu, boleh kan kebijakan kemudian dikaitkan dengan pemilu,” kata Mahfud.

Mahfud menegaskan, hak angket bukan untuk hasil pemilu. Sebab, hak angket tidak akan mengubah keputusan KPU atau mengubah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memang memiliki jalur sendiri.

Menurut Mahfud, KPU maupun Bawaslu memang tidak bisa dilakukan angket. Tapi, yang dibolehkan untuk dilakukan angket tidak lain pemerintah, termasuk jika itu memiliki kaitan dengan pelaksanaan pemilu. 

Urgensinya Apa?

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono turut buka suara. Putra Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) itu menilai, tidak ada urgensi menggulirkan angket. Selain penghitungan masih berlangsung, selisih paslon pemenang dengan lainnya sangat jauh.

”Saya tidak melihat ada sesuatu yang sangat aneh di situ karena memang jaraknya jauh,” ujar AHY yang baru saja dilantik sebagai Menteri ATR/BPN oleh Jokowi.

Meskipun, Demokrat menghormati tokoh mana pun yang ingin menggunakan hak konstitusionalnya. Ketimbang angket, AHY berpendapat ada hal lain yang penting. 

Yakni, merajut kembali rekonsiliasi bangsa sehingga tidak terlalu lama terjebak pasca-pemilu. AHY berharap, delapan bulan ini jadi waktu yang penting untuk mempersiapkan transisi kepemimpinan nasional dan itu harus dikawal dengan baik.

Tetapi pengamat politik menegaskan bahwa penggunaan hak angket DPR perlu dilakukan untuk membongkar secara terang-benderang mengenai adanya kecurangan yang dilakukan oleh siapapun. 

"Tentu sasaran dari hak angket untuk menjaga kualitas demokrasi dan mencegahnya terjadinya kecurangan yang lebih parah pada pilpres yang akan datang," kata Direktur Rumah Politik Indonesia (RPI) Fernando Emas saat disapa, Senin (26/2).

Kalaupun ada pihak yang terkena dampak dari upaya membongkar kecurangan pada pemilu 2024 merupakan resiko dari perbuatan curang yang dilakukan. "Termasuk kalau akhirnya nanti kesimpulan dari Hak Angket berlanjut pada Kak Menyatakan Pendapat oleh DPR".

Berujung Pemakzulan Presiden?

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan penggunaan hak angket bisa berujung pada pemakzulan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dia menjelaskan alur hak angket berawal dari persetujuan di DPR, lalu berlanjut dengan proses penggunaan hak menyatakan pendapat. 

Herdiansyah menyebut hak menyatakan pendapat itu kemudian akan diuji di Mahkamah Konstitusi yang akan mpemenyatakan adanya pelanggaran serius presiden terhadap undang-undang. “Setelah itu, DPR dapat melakukan proses impeachment,” kata Herdiansyah.

Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, mengatakan DPR memang berhak menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Tapi penggunaan hak tersebut seharusnya dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif, seperti pemerintah. “Bukan untuk menilai atau membahas proses atau hasil pemilu dengan segala implikasinya,” kata Fahri.

Fahri berpendapat rencana penggunaan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu jauh dari prinsip konstitusi. Dia menyebut Undang-Undang Dasar sudah mengatur penyelesaian sengketa pemilu melalui Mahkamah Konstitusi atau MK, bukan lewat hak angket.

“Jalan ke MK itu mestinya digunakan. Jika angket yang mau dipaksakan, tentu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan,” kata dia. 

Kendati, menurut Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sekaligus pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini dalam ketidakpastian. 

Hak angket yang kini diusulkan untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, kata Yusril, berpotensi menimbulkan kaos atau kekacauan. 

“Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir,” kata Yusril, Kamis (22/2). 

Harusnya ke MK

Menurut Yusril, pihak yang kalah pilpres seharusnya mencari penyelesaian ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan dengan menggunakan hak angket DPR. Dia menyebut, hak angket DPR tidak dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024 oleh pihak yang kalah pilpres. 

“Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya, tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," bebernya. 

Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, kata Yusril, salah satu kewenangan MK yakni mengadili perselisihan hasil pemilu, dalam hal ini pilpres, pada tingkat pertama dan terakhir. 

Putusan MK bersifat final dan mengikat. Menurut dia, para perumus amendemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui MK. 

Hal ini dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan, sehingga tidak menimbulkan kekosongan kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut. Yusril mengatakan, putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres 2024 akan menciptakan kepastian hukum. 

“Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan,” kata Yusril. 

“Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," jelas dia. 

Mantan Menteri Sekretaris Negara itu juga menyinggung perihal wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo yang belum lama ini bergulir. Dia menduga, wacana penggunaan hak angket DPR merupakan upaya untuk memakzulkan Kepala Negara. 

“Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," kata Yusril. 

Yusril melanjutkan, wacana pemakzulan terhadap Presiden juga harus melalui persetujuan MK. Jika MK setuju dengan DPR, maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR. 

Dari situ, MPR akan memutuskan setuju atau tidak setuju. “Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir,” kata Yustil. 

“Kalau 20 Oktober 2024 itu Presiden baru belum dilantik, maka negara ini berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan. Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira negara harus diselamatkan," timpalnya.

Catatan: Ada tiga partai dari Koalisi Perubahan menyatakan bakal mendukung inisiatif hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024. Koalisi yang terdiri dari Partai NasDem, PKB, dan PKS itu menyatakan bakal menunggu PDIP menggulirkan proses tersebut di DPR.

Catatan: Hak Angket didasarkan pada Pasal 20A ayat (2) UUD NRI 1945 dan perselisihan hasil pemilu di MK didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Salah satunya tidak perlu digunakan untuk menafikan yang lain. Selama keduanya memenuhi syarat, seharusnya keduanya bisa dijalankan.

(wan)