Istana Dikritik Guru Besar, Pengamat: Agar Jokowi Tidak Kebablasan

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 7 Februari 2024 15:00 WIB
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin (Foto: MI/Dhanis)
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin (Foto: MI/Dhanis)

Jakarta, MI - Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin, tak sependapat dengan pernyataan pihak-pihak yang menyebut kritikan para guru besar dari berbagai perguruan tinggi ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah politisasi kampus.

Menurutnya, keberadaan akademisi partisan di setiap perguruan tinggi memang pasti ada. Namun, jumlahnya terlalu sedikit ketimbang akademisi murni yang jumlahnya tak terhingga.

"Akademisi partisan pasti ada, tapi jumlahnya lebih kecil karena kan akademisi yang berpolitik juga enggak banyak, sedikit. Kebanyakan yang akademisi murni," kata Ujang saat dihubungi Monitorindonesia.com, Rabu (7/2).

Kata Ujang, para akademisi telah membangun gerakan kritikan moral tersebut karena kepeduliannya terhadap demokrasi bangsa yang dinilainya sudah berbelok dari jalurnya. "Akademisi murni ini yang membangun gerakan moral itu," ujarnya.

Sementara akademisi partisan, kata Ujang, hanya bergerak demi kepentingan politiknya dan itu memang dibolehkan. "Nah, gerakan akademisi partisan itu yang memihak sana-sini, ada dan itu boleh," jelasnya.

Namun kata Ujang, meskipun ada 2 pola gerakan di dalam civitas akademika, apapun kritikannya kepada pemerintah, maka itu harus segera diperbaiki. Terlebih kritikan itu ditujukan untuk menjaga moralitas bangsa dan mengingatkan presiden Jokowi agar tidak kebablasan.

"Jadi saya melihatnya ada 2 pola yang ada di kampus, tapi apapun itu kita harus hormati dan hargai kritikan dari para akademisi, para guru besar itu untuk menjaga moralitas bangsa untuk mengingatkan Jokowi agar tidak kebablasan dalam konteks mengelola negara," jelasnya. 

Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, menyebut kritik yang disampaikan para guru besar dari berbagai perguruan tinggi itu merupakan bagian dari skenario yang sengaja diciptakan oleh pihak tertentu.

"Ini skenario, ini kita sudah paham sebagai mantan aktivis. Ya sudahlah, mana ada politik tidak ada yang ngatur-ngatur. Kita tahu lah, ini penciuman saya sebagai mantan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ngerti betul barang ini," ujar Bahlil di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/2). (DI)