TPN Ganjar-Mahfud: Tak Ada yang Baru dalam Film Dirty Vote

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 12 Februari 2024 11:28 WIB
Flayer Film Dirty Vote (Foto: MI-Aswan/Repro)
Flayer Film Dirty Vote (Foto: MI-Aswan/Repro)

Jakarta, MI - Deputi Bidang Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, menilai tak ada hal yang baru dalam film dokumenter Dirty Vote. Sebab, apa yang tersaji pada film tersebut merupakan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi menjelang prosesi Pemilu 2024.

"Apa yang ditulis atau dibuat dalam film tersebut itu tidak ada yang baru sama sekali," kata Todung saat konferensi pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta Pusat, Minggu (11/2).

Kata Todung, film Dirty Vote ini memberikan literasi politik yang sangat bagus kepada masyarakat. Sehingga ia berharap, tidak ada pihak yang bereaksi berlebihan, apalagi hingga ingin melapor ke aparat penegak hukum.

"Film ini menurut saya pendidikan politik yang sangat bagus. Jadi, jangan baper lah, jangan sedikit-dikit melapor ke kepolisian. Ini kan tidak sehat buat kita sebagai bangsa," ujar Todung.

Seperti diketahui, Film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube. 

Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

Tiga pakar itu secara bergantian dan bersama-sama menjelaskan rentetan peristiwa yang diyakini bagian dari kecurangan pemilu.

Dalam beberapa bagian, ketiga pakar juga mengkritik Bawaslu yang dinilai tidak tegas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran pemilu. Alhasil menurut mereka, tidak ada efek jera sehingga pelanggaran pemilu cenderung terjadi berulang.

Sutradara “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono menyebut filmnya itu sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat terutama beberapa hari sebelum mereka menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara pada 14 Februari 2024.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,“ kata Dandhy.

Dia menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis. 

Pembuatannya, dia menambahkan, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI. (DI)