Soal Film Dirty Vote, JK: Masih Ringan Dibanding Kenyataan yang Ada di Masa Itu

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 12 Februari 2024 19:42 WIB
Bivitri Susanti saat menjelaskan sebaran bansos oleh Joko Widodo (Foto: MI-Aswan/Repro)
Bivitri Susanti saat menjelaskan sebaran bansos oleh Joko Widodo (Foto: MI-Aswan/Repro)

Jakarta, MI - Mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) mengamini fakta yang dibeberkan film Dirty Vote. Menurut JK sapaanya, film yang disutradari Dandhy Laksono itu malah belum berhasil membongkar seluruh kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

“Masih ringan dibanding kenyataan yang ada di masa itu. Masih tidak semuanya mungkin baru 25%," kata JK di kediamannya, Jalan Brawijaya Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (12/2).

Baginya, film berdurasi satu jam 57 menit itu masih belum menampilkan secara keseluruhan kecurangan. Ia mencontohkan kejadian di daerah-daerah.

Misalnya Bantuan Sosial (Bansos). Program bantuan yang berasal dari pemerintah itu, katanya dipolitisasi. “Karena tidak mencakup kejadian di daerah-daerah kejadian di kampung-kampung, kejadian bagaimana bansos diterima orang bagaimana datang petugas-petugas mempengaruhi orang," ujar JK.

Jurnalis Dandhy Laksono, yang mengampuh film itu, dinilainya masih sopan dalam membeberkan fakta yang ada. “Mungkin sutradaranya lebih sopan lah. Masih sopan tapi bagian pihak lain masih marah apalagi kalau dibongkar semuanya," ucap JK.

Meski begitu, ia mengapresiasi film tersebut.

Diberitakan ilm dokumenter eksplanatory "Dirty Vote" yang dirilis pada 11 Februari 2024 merupakan karya sutradara Dandhy Dwi Laksono. Film dengan durasi sekitar 1,5 jam tersebut viral di media sosial, bahkan belum dua hari penayangan telah ditonton sebanyak 2 juta tayangan dan tranding di media sosial. 

Film ini berisi kritik atas sistem demokrasi dan Pemilu di Indonesia untuk kondisi terakhir khususnya jelang Pemilu 14 Februari 2024. Film ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ketiga pakar tersebut menjelaskan berbagai kelemahan, manipulasi politik, dan kecurangan yang terjadi dalam sistem Pemilu di Indonesia.

Selengkapnya di sini...