Pakar Hukum Dorong Kejaksaan Berada di Ranah Yudikatif, Ini Alasannya

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 21 Agustus 2023 22:44 WIB
Jakarta, MI - Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul, mendorong Kejaksaan RI  agar dikembalikan seperti di zaman Belanda. Bahwa saat itu Kejaksaan dibawah Mahkamah Agung (MA). Hal ini menurut dia, Kejaksaan terlepas dari pengaruh eksekutif. Lembaga kejaksaan itu, kata Chudry, sangat riskan untuk mendapatkan intervensi dari pihak pemerintah ataupun pihak lain, sehingga tuntutan hukum terkadang menjadi tidak berdasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak makmsimal. "Ini yang harus dipikirkan lagi, organisasi Kejaksaan itu mesti kembalikan lagi seperti pada zaman Belanda yang saat itu Jaksa dibawah Mahkamah Agung (MA), jadi bukan dibawah eksekutif. Katakanlah pemilihan Jaksa Agung itu mungkin dipilih atas dasar usulan Presiden dengan mendapat dukungan dari DPR. Tetapi setelah dia terpilih, oraganisasi Kejaksaan itu juga bukan wadah eksekutif gitu," ujar Chudry saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Senin (21/8) malam. [caption id="attachment_543788" align="alignnone" width="713"] Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul (Foto: Istimewa)[/caption] Ketentuan dalam pasal 24 ayat (3) UUD 1945 semakin diperkuat di dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 bahwa yang dimaksud dengan “badan-badan lain” antara lain Kepolisian, Kejaksaan, Advokat dan Lembaga Permasyarakatan. Disebutkan bahwa Kejaksaan termasuk di dalam badan-badan lain yang terkait dengan kekuasaan kehakiman. Maka sebaiknya Kejaksaan berada di dalam ranah peradilan bukan di dalam ranah eksekutif. "Saya kira harus mulai difikirkan, pemerintahan bisa saja mempengaruhi kejaksaan. Karena dia dibawah eksekutif. Maka dari itu ya dikembalikan saja lagi yang fungsinya seperti dulu. Ini bukan hal yang baru, di zaman Belanda sudah begitu, tetapi kan berubah ketika Indonesia merdeka, setelah penyerahan pengakuan kedaulatan dari Belanda. Maka dikeluarkanlah peraturan bahwa jaksa itu bukan pembantu hakim," bebernya. "Kembalikan saja seperti dulu, konsep ini bukan yang baru sebenarnya. Ini sudah ada di zaman belanda, begitu juga polisi adalah pembantu Kejaksaan," imbuhnya. (Wan)