Menyeramkan! Anak Sekolah Dasar Dirasuki Judi Online, Entah Siapa yang Salah

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 27 Agustus 2023 19:28 WIB
Jakarta, MI - Sungguh menyeramkan, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap adanya anak di bawah umur atau masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sudah terasuki judi online (Judol). Rupanya bukan saja orang dewasa yang jago main judol. "Ini sesuatu yang menggelisahkan untuk kita semua karena memang orang-orang yang terlibat di judi online ini banyak ibu rumah tangga, anak SD pun ada yang ikut, ini yang kita khawatirkan," ujar Kepala Biro Humas PPATK Natsir Kongah, dalam sebuah diskusi dikutip pada Minggu (27/8). Bukan suatu hal yang mustahil ini terjadi, sebab data dari PPATK menyebutkan bahwa kenaikan transaksi keuangan pada saat terjadinya pandemi covid-19 yang pada saat itu masyarkat banyak menghabiskan waktu di rumah. Kondisi ini bahkan membuat banyak rumah tangga yang rusak. Tercatat penyebaran uang melalui transaksi judi online pada 2021 nilainya mencapai Rp57 triliun. Kemudian jumlah itu naik signifikan pada 2022 menjadi Rp81 triliun. “Di angka tahun 2021 itu perputaran yang kita lihat ada 57 triliun, naik signifikan di 2022 menjadi 81 triliun,” katanya. Dari 2021 kasus perjudian itu, ungkap dia, laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan itu ada 3.446. Itu pada 2022 berkali lipat menjadi 11.222. "Nah di 2023 ini, Januari ada laporan transaksi keuangan mencurigakan 916, Februari 831, di Mei itu ada 1.096,” bebernya. Modus Deposit Lewat e-Wallet Salah satu modus transaksi judi online yakni dengan deposit melalui e-wallet yang sangat mudah diakses masyarakat. Natsir mengungkapkan si pemain judi online akan mendepositkan saldo ke bandar lewat e-wallet. Jumlah transaksinya beragam, dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. "Mereka ini juga banyak pakai ewallet, Gopay, OVO, itu dijadikan sebagai transaksi perjudian. Pihak ini diduga pelaku mendepositokan dananya pakai e-wallet, puluhan ribu hingga puluhan juta, yang diduga dikirim ke bandar judi online," ujar Natsir. Uang-uang deposit pemain judi online itu kemudian akan disetor bandar ke atasannya. Menurutnya, judi online di Indonesia beroperasi semacam agen. Ada bandar, kemudian di atasnya ada lagi bandar lebih besar. "Pihak bandar itu akan kirimkan uangnya itu ke upliner-nya. Kemudian dikirim ke luar negeri. Jadi ada seperti agennya juga," kata Natsir. Bandar-bandar yang lebih besar ini diduga banyak yang berada di luar negeri. Beberapa bahkan sudah ditemukan di negara Asia Tenggara yang merupakan negara tetangga Indonesia. "Semua terdeteksi, itu bisa puluhan triliun tadi, mereka ada yang base di luar negeri seperti Kamboja dan direkrut orang Indonesia untuk kerja sama mereka," tutur Nasir. Sementara itu, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan bahwa saat ini pihaknya terus mendalami temuan itu, termasuk modus-modus lainnya dan mengungkap para bandar judi online ini. "Itu hanya salah satu modus yang kami temukan," ujar Ivan kepada Monitorindonesia.com, Minggu (27/8). Kenapa Bisa Terasuki? Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan pandemi Covid-19 yang lalu menghancurkan banyak perekonomian keluarga menjadi faktor utama mengapa banyak orang terjebak pada judi online. Judi online, kata Devie, seakan memberikan 'jalan alternatif' kepada masyarakat yang ingin mendapatkan tambahan pendapatan. Ketika aturan pemerintah terkait Covid diberlakukan banyak orang merasa terkurung di rumah dan akhirnya bosan. Judi online yang dibalut seperti permainan gim biasa, menggoda orang-orang untuk mencoba karena bisa diakses kapan pun dan di mana pun. "Manusia itu pada prinsipnya pemain gim. Menariknya judi online daya pikatnya lewat permainan. Ini yang kemudian mendorong orang tanpa disadari terperangkap dalam judi online. Ujungnya mereka sudah kecanduan. Judi online menciptakan keseruan, membuat orang tertantang, termotivasi, dan penasaran," katanya. Hal lain yakni, orang tak perlu keluar banyak uang untuk mencoba peruntungan judi online. Hanya dengan uang puluhan ribu rupiah memungkinkan mereka mendapat puluhan juta. "Itu kan sangat menggoda sehingga secara psikologi tidak merasa menghabiskan yang besar untuk judi online," ungkapnya. Oleh karena itu, menurut Devie, tak ada seorang pun yang imun dari potensi jebakan judi online. Entah itu berasal dari kelompok ekonomi maupun pendidikan bawah atau tinggi. Salah Siapa? Di Indonesia aktivitas perjudian dilarang oleh pemerintah karena dianggap merugikan masyarakat dan melanggar norma agama. Khusus judi online, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjerat para pelaku maupun orang yang mendistribusikan muatan perjudian dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memutus akses-akses konten perjudian di pelbagai platform digital. Bahkan Kemenkominfo telah memblokir 5.000 situs judi online yang menyusupi situs-situs pemerintah. “Sejak tahun lalu kami sudah memblokir situs-situs judi online ang menyusup ke situs pemerintah sebanyak 5.000 situs,” ujar Usman Kansong Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo kemarin. Kendati jumlah situs atau aplikasi perjudian online yang beredar secara daring berpotensi lebih banyak dari hasil patroli siber. Pemberantasan judi online di Indonesia, cukup berat lantaran situs atau aplikasi judi online terus bermunculan dengan nama yang berbeda, meski aksesnya telah diputus. Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria, menegaskan bahwa hal ini merupakan persoalan serius yang harus menjadi perhatian pemerintah. "Kebiasan main judi online ini juga merugikan orang lain, disebut juga mereka kecanduan. Adakah penanganan lebih dari sekedar blokir situs-situs itu, dan hanya sekedar hukum? Agak susah hilanglah, susah beri efek jera jika hanya itu-itu saja. Dari dulu seperti itu penanganannya," ujar Kurnia Zakaria, Minggu (27/8). Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan, kata Kurnia, dengan peningkatan pengawasan oleh orang tua terhadap anaknya. "Peningkatan frekuensi razia oleh aparat penegak hukum terhadap tempat-tempat yang menyediakan fasilitas jaringan internet. Saya kira juga perlu adanya peran serta pengawasan dari masyarakat untuk membantu agar perjudian online yang dilakukan oleh mahasiswa dapat teratasi," bebernya. Memang tak dapat dipungkiri, bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. (WAN)