Ingar-bingar IUP Menteri Bahlil: Antara Ego dan Cacat Kewenangan?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 9 Maret 2024 17:43 WIB
Ilustrasi - Menteri Investasi Bahlil Lahadalia - Tambang (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi - Menteri Investasi Bahlil Lahadalia - Tambang (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia tengah mendapat sorotan dalam proses pencabutan maupun pemberian kembali izin tambang, khususnya nikel, atau perkebunan sawit. 

Itu berawal kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang mencabut izin usaha pertambagan (IUP) perusahaan yang tak kunjung merealisasikan investasinya. 

Pada tahun 2021, Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No.11/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi.

Satgas Percepatan Investasi itupun dipimpin oleh Bahlil Lahadalia. Sementara wakilnya adalah Wakil Jaksa Agung dan Wakapolri. 

Tugasnya memastikan realisasi investasi setiap pelaku usaha yang telah mendapatkan perizinan berusaha.

Sejak satgas itu dibentuk, pemerintah mulai agresif mencabut izin-izin tambang yang investasinya belum direalisasikan. 

Pada awal Januari 2022 lalu, Presiden Jokowi mengaku telah mencabut 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Namun demikian, rencana pencabutan itu belum sepenuhnya direalisasikan, karena sampai dengan April 2022, hanya sekitar 1.118 yang harus dicabut IUP-nya.

Mayoritas perizinan yang dicabut adalah IUP mineral lainnya sebanyak 375 IUP, batu bara 271 IUP, IUP timah 237, nikel 102 IUP, emas 59 IUP, bauksit 50 IUP, dan tembaga 14 IUP.

Pada Senin (13/6/2022) lalu, Bahlil mengungkapkan bahwa pencabutan izin usaha pertambangan tersebut merupakan rekomendasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Dia pun tak akan main-main untuk menegakan aturan supaya proses investasi bisa berjalan optimal.

"Kalau yang benar ya benar, kalau salah ya salah. Karena saya dulu juga pengusaha,” tegas Bahlil waktu itu.

Namun belakangan tindakan pencabutan izin itu rupanya menimbulkan kegaduhan. 

Seperti ramai diberitakan diberbagai media online, dia iduga memungut fee untuk pemulihan IUP. 

Namun demikian kabar itu segera dibantahnya. Bahlil menegaskan dia tak pernah main-main dengan perizinan

"Enggak bener lah, mana ada. Sekarang urus izin enggak boleh ada macam-macam amplop,” katanya.

Jabatan Bahlil sebagai Kasatgas pun menjadi sorotan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) misalnya.

Menurut Jatam, setidaknya terdapat dua jenis kecacatan dalam pencabutan IUP oleh Bahlil dalam kapasitasnya sebagai Ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil menilai tugas Bahlil sebagai ketua satgas itu saja sudah mengandung cacat kewenangan.

Alasannya, berdasarkan Pasal 119 pada Undang-Undang No. 3/2020 tentang Perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), pencabutan IUP hanya bisa dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Sebenarnya yang dilakukan Bahlil sudah bermasalah sejak hulu, dari kewenangan yang membolehkan Menteri Investasi/Kepala BKPM untuk mencabut izin tambang sudah salah urus. Kewenangan Bahlil untuk mencabut izin cacat kewenangan,” ujar Jamil kepada wartawan dikutip pada Sabtu (9/3/2024).

Cacat dari segi prosedur

Pencabutan IUP oleh satgas juga dinilainya cacat dari segi prosedur. 

Berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) No. 96/2021 dijelaskan bahwa pemegang IUP untuk penjualan yang melanggar ketentuan bakal dikenakan sanksi administratif secara bertahap dan tidak serta-merta langsung dicabut IUP-nya.

Adapun sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi dan/atau pencabutan IUP.

Kecacatan secara kewenangan dan prosedur itu pada akhirnya dimanfaatkan sebagai celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh Bahlil dan perusahaan.

Dalam kaitan itu, beberapa perusahaan memang telah melayangkan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tetapi prosesnya tentu panjang. 

Hal itu pun memicu potensi terjadi dugaan transaksi untuk mengaktifkan IUP kembali melalui lobi langsung kepada Bahlil. 

“Ketika Bahlil menerbitkan surat keputusan (SK) pencabutan, dia juga berwenang mencabut SK pencabutan atau menerbitkan SK baru untuk mengaktifkan kembali. Di situ arenanya, sangat mungkin bisa terjadi transaksi,” jelas Jamil.

Senayan Mendesak

Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bakal melakukan rapat kerja (raker) bersama dengan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada pertengahan Maret 2024.

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan, dalam agenda raker tersebut, parlemen bakal meminta penjelasan soal dugaan penyelewengan dari pencabutan IUP yang kabarnya dilakukan Bahlil dalam kapasitasnya sebagai Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Tak hanya itu, pihaknya juga akan meminta penjelasan soal laporan adanya tumpang tindih kewenangan izin usaha pertambangan antara BKPM dengan Kementerian ESDM.

Mulyanto tidak menjelaskan dengan pasti ihwal tanggal pelaksanaan, tetapi memastikan bahwa raker sudah terjadwalkan dalam agenda Komisi VII.

“Dalam rapat komisi juga sudah ditetapkan agenda dalam masa sidang ini untuk rapat kerja dengan Menteri ESDM [Arifin Tasrif] dan Menteri Investasi/Kepala BKPM [Bahlil Lahadalia] untuk meminta penjelasan dan pendalaman dalam kasus tersebut. Semuanya dapat dibahas di tengah bulan Maret ini,” ujar Mulyanto.

Di lain sisi, KPK juga telah didesak Mulyanto agar memeriksa Bahli. Alhasil, KPK sedang menelaah informasi tersebut. Bakal ditindak lanjuti jika ada pengaduan masyarakat (Dumas).

Namun demikian, pakar hukum tata negara, Radian Syam menilai, langkah Bahlil mencabut ribuan IUP bukan untuk kepentingan pribadinya, tetapi untuk kepentingan nasional dan hilirisasi.

Pasalnya, langkah Bahlil tersebut merupakan tindak lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satuan Tugas Penataan Lahan dan Penataan Investasi.

"Langkah Bahlil merupakan tindak lanjut dari keputusan satgas, bukan keputusan individu dari menteri investasi," ujar Radian kepada wartawan, Jumat (8/3/2024).

Menurutnya, semangat dari Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tersebut adalah untuk menata kembali IUP di Indonesia. 

Oleh karena itu, sangat wajar jika pada praktiknya ada perusahaan tambang yang dicabut izinnya karena tidak beroperasi sebagaimana ketetapan undang-undang.

“Niatan pemerintah melalui pembentukan satgas untuk kepentingan nasional dan hilirisasi jangan disalahartikan sebagai oknum yang meminta duit atau fee agar izin itu diterbitkan, tidak begitu konsepnya,” beber Radian.

Maka, sudah sepatutnya langkah satgas mendapat apresiasi. Pasalnya, tambah dia, perusahaan yang nanti memperoleh izinnya kembali dipastikan bakal menjadi lebih produktif.

Satgas ini bukan hanya membantu menata ulang pertambangan, tetapi juga memanfaatkan sumber daya alam secara lebih efektif dan efisien.

"Sesuai dengan pemanfaatannya untuk kepentingan ekonomi rakyat Indonesia dan kepentingan nasional,” tuturnya.

Secara hukum, Radian menjelaskan, satgas dibentuk sebagai upaya pemerintah untuk menjunjung prinsip transparansi dalam pengambilan keputusan, karena melibatkan berbagai lembaga dan kementerian.

"Jadi, tidak benar jika ada pihak yang mengalamatkan segala keputusan satgas mencerminkan kepentingan atau untuk keuntungan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia semata," pungkas Radian.

Apresiasi pun dituturkan politikus Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindra) Anggawira.

"Kami justru mengapresiasi pencabutan izin usaha pertambangan untuk konsesi yang tidak produktif. Hal ini tidak hanya membantu menata ulang sektor pertambangan, tetapi juga mengalokasikan sumber daya alam secara lebih efektif, sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan," kata Wakil Komandan Tim Fanta TKN Prabowo-Gibran itu dikutip pada Kamis (7/3/2024).

"Para pemilik izin yang dicabut juga diberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi atau menempuh upaya hukum, ini menunjukan prosedur yang ditempuh sudah memberikan ruang untuk para pemilik izin," tambah Ketua Umum ASPEBINDO itu.

Tak hanya itu saja, Anggawira yang juga Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) mengatakan, ketegasan yang dilakukan oleh satgas memang diperlukan untuk memberikan peringatan agar para pemilik IUP tidak membiarkan lahan tambangnya tidak produktif.

“Menurut hemat saya justru satgas dengan tegas melakukan penataan IUP dengan pencabutan ini, tentu kami para pengusaha jadi lebih hati-hati jika tidak menggunakan lahan tambang sesuai hak yang diberikan negara, ini juga mengurangi cara-cara informal yang sering terjadi selama pengurusan IUP,” beber Anggawira.

Dia pun menilai, tudingan kepada Bahlil melakukan pemulihan IUP dengan cara informal harus dibuktikan. Mengingat proses penataan IUP juga melibatkan institusi lembaga lain yang saling mengawasi.

"Satgas ini kan bukan hanya Kementerian Investasi saja, ada lembaga negara lain yang terlibat untuk saling mengawasi, kalau di dalamnya ada penyelewengan tentu harus ditindak tegas," tandasnya.

Berbanding terbalik dengan itu, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) justru menilai ada tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Investasi/BKPM dan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral ESDM soal cabut hidupak IUP itu.

Menurut Fitra Kementerian ESDM-lah yang seharusnya menjadi instansi yang mempunyai kewenangan memberi dan mencabut IUP atas landasan hukum Undang-undang (UU) No. 3/2020 tentang Perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

"Tambang ini kan memang melibatkan sektor kementerian/lembaga, seharusnya memang duduk bareng gitu loh. Tidak bisa kemudian atas nama Investasi memudian mengabaikan sektor-sektor teknis lainnya gak bisa gitu juga," kata Manager Riset di Sekretariat Nasional Fitra, Badiul Hadi kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (8/3/2024).

Keppres, dinilainya, hanya teknis meskipun ada kekuatan hukumnya, tetapi harus mengacu kepada mekanisme aturan diatasnya. Seberapa besar inpek yang dihasilakan dari Keppres itu. "Keppres itu juga perlu dilihat kembali seperti apa kewenangannya".

Badiul menilai ada problem di Keppers itu. 

"Kemarin itu kan perbincangan soal tambang, bahwa tambang di desa ya, Kementerian Desa juga tidak pernah diajak ngobrol serius tentang perizinan-perizinan itu," bebernya.

Maka, kata dia, ini artinya koordinsasi di level pemerintah pusat, di level kementerian ini mencerminkan adanya keburukan koordinasi. 

"Seolah-olah tidak ada koordinasikan, ego dimasing-masing sektoral. Dan jangan sampai kemudian menjadi bumerang di level masyarakat, inikan dampaknya ke masyarakat juga," jelas Badiul.

Ini yang paling penting, tambah dia, bahwa koordinasi lintas kementerian/lembaga itu harus diperkuat. "Terutama ini isu-isu sensitif yang berdampak ke lingkungan kemudian ke masyarakat yang secara langsung," tandasnya.

Sementara itu, pakar hukum pidana Kurnia Zakaria juga menyatakan bahwa batas-batas kewenangan atau tumpang tindih itu harus dikembalikan kepada keppres dan perpres satgas investasi. 

"Keppres itu kan dari presiden, maka semua menteri tunduk, termasuk Bahlil," katanya kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (8/3/2024).