Food Estate Jegal WTP Kementan, Bagaimana Sejarah Kegagalannya?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 14 Mei 2024 01:17 WIB
Spanduk kuning lebar dibentangkan tepat di lahan Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk program ketahanan pangan food estate yang berlokasi di desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng)
Spanduk kuning lebar dibentangkan tepat di lahan Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk program ketahanan pangan food estate yang berlokasi di desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng)

Jakarta, MI - Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementan Hermanto mengungkapkan, status WTP Kementan terganjal temuan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK dalam proyek food estate. Hal itu disampaikan Hermanto ketika dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi eks Menteri Pertanian SYL. 

Menurut Herman, BPK menemukan indikasi penipuan yang tidak banyak namun nilai besarnya. Auditor BPK yang bernama Victor kemudian dipanggil meminta uang Rp 12 miliar kepada pimpinan Kementan untuk mendapatkan status WTP. 

“Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada petunjuk untuk nilai kalau tidak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan,” kata Hermanto, Rabu (8/5/2024).

Namun, Kementan tidak langsung memenuhi permintaan Victor. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp 5 miliar.  “Enggak, kita tidak penuh. Saya dengar tidak terpenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp 5 miliar,” ujar Herman. 

Terkait hal itu, Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Ali Fikri mengatakan, dugaan itu akan diusut setelah sidang kasus korupsi eks Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) selesai karena tim jaksa KPK perlu mengantongi konfirmasi dari pihak-pihak lain sehingga fakta persidangan itu menjadi fakta hukum.

“Nanti pengembangan lebih jauhnya adalah ketika proses-proses penyiaran selesai secara utuh,” kata Ali kepada wartawan, Rabu (8/5/2024).

Beberapa waktu sebelumnya Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menyebut bahwa jaksa akan menyampaikan temuan-temuan yang terungkap dalam sidang SYL dalam laporan konferensi maupun laporan perkembangan pembekuanan.  Laporan itu nantinya akan menjadi dasar bagi KPK untuk mengembangkan dugaan yang mencakup WTP dari BPK. 

Ali menyebutkan, jika pengembangan dilakukan pada tahap penyidikan, KPK bisa langsung menetapkan tersangka baru. Namun, karena sudah bergulirnya konferensi, temuan itu akan ditindaklanjuti setelah hakim menjatuhkan putusan. “Jaksa akan menyimpulkan dalam analisis surat tuntutan baru kemudian menyusun laporan perkembangan terjadinyaan,” ujar Ali.

Soal food estate, hingga saat ini masih dilanjutkan oleh pemerintahan presiden Joko Widodo alias Jokowi. Bahkan Indonesia berencana menggandeng China untuk mengembangkan lahan sawah seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah.

Pemerintah Indonesia mengklaim telah mencapai kesepakatan dengan China untuk bekerja sama mengembangkan lahan sawah seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah. Ini disebut akan mengatasi masalah beras nasional, apalagi mengingat Indonesia kerap bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Namun perlu diketahui bahwa ide untuk membangun lumbung pangan seluas lebih dari 1 juta hektare di Kalimantan Tengah itu telah muncul sejak era Orde Baru. 

Pada 1985-1986, Indonesia di bawah pimpinan presiden otoriter Soeharto berhasil mencapai swasembada sehingga sama sekali tidak mengimpor beras. Setelahnya hingga 1993, impor beras relatif minim. Hanya pada 1987, 1991, dan 1992 angkanya sempat menyentuh ratusan ribu ton per tahun.

Namun, kemarau panjang pada 1994 dan menyusutnya lahan pertanian di Jawa membuat produksi beras turun drastis.

Karena itu, Soeharto melempar ide pada jajaran menterinya pada Juni 1995 untuk membuka lahan pertanian raksasa di lahan rawa seluas 5,8 juta hektare di Kalimantan Tengah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rendah.

Saat itu, ia meminta agar panen pertama dari proyek itu bisa terjadi dalam dua tahun. Lalu, terbitlah Keputusan Presiden No. 82/1995 tentang pengembangan lahan gambut (PLG) pada Desember 1995. Dikebut, proyek ini mulai berjalan pada 1996. Dalam prosesnya, luas area PLG menciut jadi "hanya" 1,46 juta hektare.

Proyek ini kental dengan kolusi dan korupsi, entah terkait pembukaan lahan, pembangunan perumahan transmigran, pencetakan sawah, ataupun pengembangan saluran irigasi.

Saluran primer induk sepanjang ratusan kilometer yang dibangun saat itu pun justru memotong lahan gambut tebal dan memicu berbagai kerusakan ekologis, termasuk punahnya puluhan satwa liar, meningkatnya potensi banjir dan kebakaran, serta pencemaran tanah dan air.

Pada Maret 1997, Soleh Solahuddin yang saat itu menjabat rektor Institut Pertanian Bogor pun mengatakan hanya 586.700 hektare dari total 1,46 juta hektare lahan proyek PLG yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan.

Alhasil, produksi beras dari proyek PLG jauh dari harapan. Pada 1999, banyak lahan sawah telantar dan wilayah permukiman transmigran pun mulai ditinggalkan.

Akhirnya, Presiden BJ Habibie membatalkan proyek PLG melalui Keputusan Presiden No. 80/1999 yang terbit pada Juli 1999. Namun, kegagalan ini tak menghentikan presiden-presiden selanjutnya untuk mendorong pengembangan lumbung-lumbung pangan baru.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat punya program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang diluncurkan pada Agustus 2010 dan membutuhkan lahan seluas 2,5 juta hektare di Merauke, Papua (kini di Papua Selatan).

Pemerintahan SBY pun sempat meluncurkan proyek food estate di Bulungan, Kalimantan Utara, pada 2011 dan di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2013. Dua proyek ini ditargetkan mencetak sawah masing-masing seluas 30.000 dan 100.000 hektare.

Di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, food estate pun sempat masuk dalam daftar proyek strategis nasional (PSN) yang dirilis pada Januari 2016.

Rencananya, food estate akan dibangun di Papua, Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, dengan total luas lahan mencapai 1,7 juta hektare.

Proyek di Papua rencananya akan jadi kelanjutan MIFEE dari era SBY, meski dengan alokasi lahan lebih kecil, yaitu 1,2 juta hektare.

Namun, seluruh proyek food estate itu keluar dari daftar PSN sejak 2017, karena dianggap "tidak strategis lagi" dan tidak mendapat dukungan dari daerah. Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, mengatakan, dapat disimpulkan bahwa pengembangan food estate di Indonesia selama ini "konsisten gagal".

"Bisa dibayangkan setiap presiden ganti lokasi. Uang dihambur-hamburkan," kata Andreas.

"Puluhan triliun dihambur-hamburkan untuk proyek itu. Untuk apa? Untuk gagal."

Namun, ide lumbung pangan kembali hidup pada 2020 setelah pandemi Covid-19 merebak. Saat itu, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bahkan menyatakan bahwa pandemi berisiko memicu krisis pangan global.

Karena itu, Jokowi meminta jajaran menterinya untuk menyiapkan program food estate di lima provinsi: Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.

Namun, fokus utama ada di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara, berdasarkan catatan Sekretariat Kabinet. Dari sana, muncul kembali ide untuk memanfaatkan lahan bekas proyek PLG era Orde Baru. Dalam rencana induk pengembangan food estate di Kalimantan Tengah yang terbit pada Maret 2023 pun disebutkan bahwa wilayah bekas PLG menjadi prioritas.

Rinciannya, 885.517,18 hektare dari wilayah bekas PLG merupakan kawasan dengan fungsi lindung ekosistem gambut, 497.133,23 hektare dengan fungsi budi daya ekosistem gambut, dan 87.618,95 hektare adalah lahan di luar kawasan hidrologi gambut.

"Pengembangan food estate atau kawasan sentra produksi pangan di wilayah ini berfokus pada wilayah yang berada di luar fungsi lindung ekosistem gambut," seperti tertulis di rencana induk itu.

Total luas lumbung pangan di Kalimantan Tengah diperkirakan mencapai 2,3 juta hektare, dengan 743.793 hektare di antaranya merupakan wilayah eks proyek PLG.

Lumbung pangan itu bakal melintasi empat wilayah: Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Barito Selatan, dan Kota Palangkaraya.

"Kebijakan di area bekas PLG itu kita nilainya tidak cermat. Dia bertentangan dengan asas kecermatan, karena potensinya itu akan bikin bencana ekologis kembali bertambah. Bencana ekologisnya yang kemarin masih belum selesai sekarang akan ditambah lagi," kata Lola Abas, koordinator nasional Pantau Gambut.

Ada yang berhasil-gagal
Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkapkan program Food Estate memang ada yang berhasil dan gagal. Namun, kegagalan yang dimaksud bukan berarti satu kawasan food estate dinyatakan 100% tidak berhasil.

Plt. Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto, mencontohkan lahan Food Estate yang berada di Humbang Hasundutan (Humbahas). Menurutnya ada sejumlah lahan Food Estate di daerah tersebut gagal, karena sejumlah faktor.

"Ada yang gagal. Gagal kenapa? Ternyata gagal, ternyata pertaninya sudah tua sehingga produktivitasnya turun, petaninya kekurangan modal karena hasil panennya digunakan untuk kebutuhan konsumsi, akhirnya untuk tanam berikutnya tidak punya modal," katanya, Selasa (23/1/2024).

Menurutnya, petani di sana sudah diberikan modal terutama dalam menyiapkan lahan untuk pertaniannya. Jadi, seharusnya dilanjutkan juga dengan baik oleh petani setelah menghasilkan atau panen.

"Di sana juga, petani ada yang pindah sudah tidak lagi tinggal di desa itu jadi ditinggalkan akhirnya lahannya dibiarkan. Bukan gagal tanam, gagal itu si petaninya, nggak merawat lagi (lahannya). Awalnya kan pemerintah sudah membuka lahan, pemerintah sudah kasih pupuk, tinggal di kelola semua, hasil produksinya kan juga diambil petani," ujarnya.

Kemudian tantangan selanjutnya, Food Estate di Humbahas ini merupakan lahan yang baru dibuka atau sebelumnya bukan lahan pertanian. Menurutnya, meningkatkan produktivitas lahan baru tidak mudah dan cepat, butuh beberapa kali musim tanam untuk melihat hasilnya.

"Kalau tanah baru dibuka nggak mungkin 1 tahun dia bisa produktivitasnya tinggi, jadi baru akan musim tanam 4 ke 5 baru terlihat (hasilnya)," jelas pria yang menjabat juga sebagai Direktur Jenderal Jenderal Hortikultura Kementan itu.

Adapun jumlah lahan Food Estate yang dikelola oleh di Humbang Hasundutan seluas 418,29 hektar. Komoditas yang dihasilkan sayuran, kentang, kubis, hingga bawang merah.

"Kenyataanya banyak yang berhasil, pertani yang merasakan hasilnya sudah memiliki mobil sendiri, alsintan (alat mesin pertanian) sendiri. Di Humbahas itu komoditasnya sayuran, kentang, kubis, bawang merah," pungkasnya.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga mengungkap data progres Food Estate. Saat ini Food Estate di Humbang Hasundutan seluas 418,29 hektar. Untuk Food Estate Temanggung dan Wonosobo seluas 907 hektar telah berhasil panen komoditas hortikultura.

Kemudian yang ada di Kalimantan Tengah berhasil melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan hingga mampu panen padi dengan produktivitas 5 ton/ha. Begitu pula di Sumba Tengah NTT dan kabupaten Keerom Papua yang telah mampu panen jagung seluas 500 hektar.

"Food estate tersebut sudah berhasil panen. FE Gunung Mas juga sudah panen jagung seluas 10 hektar dan singkong seluas 3 hektar. Kita pantau terus lahan tersebut," tuturnya, dalam keterangan tertulis, Senin (22/1/2024) kemarin.

Untuk tambahan informasi, Food Estate menjadi sorotan nomor urut 1 Muhaimin Iskandar dan cawapres nomor urut 3 Mahfud Md. Keduanya menyatakan prihatin dengan program tersebut dan menyebut gagal. Hal itu diungkapkan dalam acara Debat Pilpres keempat di JCC Senayan, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Berlanjut di pemerintahan Probowo
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) memastikan program food estate masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2025. 

Artinya, program food estate tetap berlanjut tahun depan yang notabene masuk dalam masa pemerintahan Prabowo-Gibran.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas, Vivi Yulaswati mengatakan, pada RPJMN tahun 2020-2024 terdapat program kawasan sentra produksi pangan (KSPP). Termasuk kawasan food estate (FE) di Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Adapun pengembangan KSPP termasuk food estate pada RKP 2025 kembali dilanjutkan seperti di tahun sebelumnya. Yakni di Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, NTT, Sumatra Selatan, dan Papua. 

"Kami masukkan sesuai mandat UU 18/2012 tentang Pangan, pakai nama generiknya yaitu Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP)," ujar Vivi kepada Kontan, Senin (13/5/2024).

Berdasarkan evaluasi, Bappenas mencatat, sejumlah pembangunan infrastruktur dasar pendukung food estate dan proses penanaman komoditas sudah berjalan.

Namun demikian, masih perlu adanya upaya perbaikan/peningkatan ke depannya. Antara lain, terkait dengan offtaker hasil panen dan model bisnis hasil panen yang dapat memberikan pendapatan kepada petani.

Lalu, terkait perbaikan penyiapan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yakni petani/kelompok tani setempat. 

Selain itu, produktivitas juga perlu diperbaiki jika dibandingkan dengan lahan yang sudah siap. Bappenas mencatat, produktivitas juga dipengaruhi variasi karakteristik lahan, komoditas yang ditanam, SDM, serta cuaca dan/atau iklim.

Tidak kalah pentingnya, Bappenas meminta pemerintah daerah turut aktif mendukung adanya KSPP atau food estate. Antara lain dengan melaksanakan monitoring dan evaluasi, kesiapan data-data dari pemda seperti data petani, pasarnya, dan fasilitasi pengalokasian anggaran.

"Pada RPJMN (2020-2024) saat ini isinya beberapa FE dan KSPP usulan daerah. Bukan hanya ekstensifikasi (karena ada potensi peningkatan emisi), kita juga dorong intensifikasi," tandas Vivi.