Tapera Rawan Dikorupsi! Temuan BPK 2021: 124.960 Pensiunan Belum Terima Pengembalian Dana Rp 567,5 M

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 2 Juni 2024 21:36 WIB
BP - Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) (Foto: Dok MI)
BP - Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan kontroversi terkait program Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang baru diluncurkan oleh pemerintah.

Berdasarkan kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024 mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). 

Konsekuensinya, pekerja dengan gaji di atas UMR akan dipungut iuran sebanyak 3% dari gaji. Maka Tapera harus dibatalkan sebab niatnya disebut-sebut hanya demi 'mengutip' uang rakyat yang rentan diselewengkan seperti pada program jaminan sosial di Asabri, Jiwasraya, serta Taspen.

Akan tetapi Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan program iuran Tapera tidak akan ditunda dan akan tetap berjalan pada tahun 2027.

BP Tapera menyatakan tidak semua pekerja di Indonesia wajib menjadi peserta Tapera. Budi Pudyo Nugroho mengatakan, dalam UU nomor 4 tahun 2016 dijelaskan hanya pekerja dengan gaji di atas upah minimum saja yang masuk menjadi peserta.

Dengan menjadi peserta Tapera, pekerja mandiri akan dikenakan iuran wajib sebesar 3% dari gajinya setiap bulan dan 2,5% bagi pekerja swasta, ASN, TNI/Polri, BUMN. Adapun bagi pekerja yang gajinya di bawah upah minimum, tidak wajib.

Upaya pemerintah melalui revisi PP No. 25/2020 menjadi PP No. 21/2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 20 Mei 2024 itu pun direspons Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama.

Adanya ketentuan baru ini, menurut politisi PKS itu akan memiliki dampak yang sangat luas. Banyak orang akan terkena aturan ini.

Pun dia memberikan salah satu catatan agar adanya aturan ini memberikan manfaat seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat. Adalah mendesak agar pemilihan manajer investasi pada BP Tapera yang diberi tugas untuk mengelola dan mengembangkan dana Tapera ini harus transparan dan akuntabel dan diawasi secara ketat. 

"Hal ini diperlukan agar dana Tapera tidak mengalami penyalahgunaan seperti pada kasus Jiwasraya dan Asabri, dan tidak dimasukkan dalam proyek-proyek yang berisiko tinggi seperti proyek IKN atau jangan sampai dialokasikan ke program pemerintah lainnya,” kata Suryadi dikutip Monitorindonesia.com, Minggu (2/6/2024).

Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah melakukan pemeriksaan terhadap lembaga tersebut pada 2021 lalu. Pemeriksaan itu dilakukan di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali.

Bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu itu dilakukan BPK khususnya untuk memeriksa pengelolaan dana Tapera dan biaya operasional tahun 2020 dan 2021.

Secara keseluruhan, laporan bernomor  202/LHP/XVI/l2/2021 tertanggal 31 Desember 2021 itu membeberkan lima hasil pemeriksaan yang dilakukan.

Salah satu dari hasil pemeriksaan itu adalah temuan sebanyak 124.960 orang pensiunan peserta Tapera belum menerima pengembalian dana Tapera sebesar Rp 567.457.735.810 atau sekitar Rp 567,5 miliar. 

Selain itu, BPK menemukan sebanyak 40.266 orang peserta pensiun ganda dengan dana Tapera sebesar Rp 130,3 miliar.

Dalam dokumen pemeriksaan, angka 124.960 orang pensiunan yang belum menerima pengembalian dana Tapera itu didapat dari hasil konfirmasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Taspen.

Sebanyak 124.960 orang pensiunan adalah mereka yang sudah berakhir kepesertaannya karena meninggal atau pensiun sampai dengan triwulan ketiga tahun 2021 namun masih tercatat sebagai peserta aktif.

Adapun sebanyak 124.960 orang pensiunan yang belum mendapat pengembalian dana Tapera itu terdiri atas 25.764 orang dari data BKN dan 99.196 orang pensiunan dari data Taspen.

Sementara, saldo Rp 567,5 miliar dari 124.960 orang pensiunan itu terdiri atas Rp 91 miliar dan Rp 476,4 miliar masing-masing dari data BKN dan data Taspen. Sementara saat itu BP Tapera mengelola dana PNS Aktif sebanyak 4.016.292 orang atau bila dibulatkan sekitar 4 juta orang.

Selain mengkonfirmasi ke BKN dan Taspen, BPK juga melakukan konfirmasi lanjutan kepada 5 pemberi kerja. Adapun hasil konfirmasi lewat uji petik ke lima pemberi kerja atas 191 peserta menunjukkan bahwa benar peserta tersebut telah meninggal atau pensiun yang didukung dengan SK Pensiun atau Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP).

Namun data tersebut belum dimutakhirkan oleh pemberi kerja, sehingga status kepesertaan di BP Tapera masih tercatat sebagai peserta aktif. "Pengembalian tabungan atau Dana Tapera juga belum dapat diberikan," seperti dikutip dari buku laporan pemeriksaan BPK tersebut.

Dalam laporan pemeriksaan BPK itu juga disebutkan, selain pemutakhiran status pekerja oleh pemberi kerja, proses pengembalian tabungan sesuai proses bisnis normal BP Tapera juga memerlukan pemutakhiran nomor rekening oleh pekerja.

Dari hasil wawancara BPK dengan Direktur Operasi Pengerahan, diketahui bahwa proses bisnis BP Tapera bergantung pada pemutakhiran data dalam menentukan status pekerja dari pemberi kerja diperoleh melalui portal.

"Selama tidak ada perubahan status oleh pemberi kerja, misalkan meninggal, maka data peserta aktif tidak akan berubah," seperti dikutip dari laporan pemeriksaan BPK.

Lewat penjelasannya, BP Tapera mengklaim selama ini telah melakukan kegiatan sosialisasi terkait pemutakhiran data termasuk mekanisme perubahan status.

Tapi, karena banyaknya data dan jumiah peserta yang harus diinput oleh pemberi kerja dan keterbatasan sumber daya di pihak pemberi kerja, muncul kemungkinan terjadi ketidaktertiban atau kekurangcermatan.

Dalam penjelasannya kepada BPK, Komisioner BP Tapera Adi Setianto menyatakan bahwa pihaknya telah menyelenggarakan sistem pengendalian intern atas hal pokok terkait agar patuh pada peraturan perundang-undangan. 

BP Tapera, kata Adi, juga telah mengidentifikasi dan mengungkapkan segala hal terkait hal pokok kepada BPK.

"BP Tapera telah menyediakan dokumen dan akses yang sesuai atas segala hal terkait hal pokok yang diperiksa kepada Pemeriksa, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di BP Tapera serta data dan informasi terkait Pengelolaan Dana Tapera dan Biaya Operasional Tahun 2020 dan 2021 pada BP Tapera," tulis Adi dalam laporan pemeriksaan BPK tersebut.

Adi juga memastikan BP Tapera bertanggung jawab melakukan tindakan koreksi dan tindak lanjut atas temuan-temuan dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilakukan oleh BPK tersebut.

Rawan dikorupsi
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, melihat iuran program tabungan Tapera bagi pekerja swasta dan PNS justru rawan untuk dikorupsi. Terlebih, dana kepesertaan dari program ini akan dikelola oleh BP Tapera.

Dalam praktiknya, uang tabungan kepesertaan pekerja tidak didiamkan begitu saja atau disimpan dalam rekening khusus pengelola dana. Dalam hal ini, BP Tapera kemungkinan akan menginvestasikan pada instrumen investasi yang diklaim aman.

“Saya bisa sharing kasus terdahulu yang berpotensi korupsi kalau ada uang yang diputar,” ujar Zaenur kepada wartawan, Selasa (28/5/2024) lalu.

Dana Tapera yang terkumpul memang nantinya akan digunakan untuk subsidi silang bagi peserta yang belum memiliki rumah untuk mendapatkannya dengan berbagai skema yang mudah. 

Tak hanya itu, dana Tapera juga diinvestasikan pada deposito perbankan, surat utang/sukuk negara, surat berharga di bidang perumahan dan kawasan permukiman, serta bentuk investasi lain yang aman dan menguntungkan sesuai dengan amanat UU Tapera.

Dana Tapera juga dikelola dengan prinsip konvensional dan syariah sesuai dengan pilihan masing-masing peserta. “Risiko pertamanya memang ketika diinvestasikan pada instrumen investasi yang tidak aman, di mana uang itu diinvestasikan kepada pengelola dana [berisiko],” ujar dia.

Dia mencontohkan seperti halnya pada kasus Asabri. Dalam kasus Asabri, pengelolaan keuangan dan dana investasi dilakukan perseroan selama 2012-2019 tidak sesuai dengan aturan. Kecurangan itu berupa kesepakatan pengaturan, penempatan dana investasi pada beberapa pemilik perusahaan atau pemilik saham dalam bentuk saham dan reksadana.

Kasus ini bermula ketika para terdakwa kasus Asabri bersepakat dengan pihak luar yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio PT Asabri (Persero) pada rentang 2012-2019. Mereka menukar saham dalam portofolio PT Asabri dengan saham-saham milik terdakwa dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi.

Manipulasi harga tersebut bertujuan agar kinerja portofolio Asabri terlihat seolah-olah baik. Setelah saham-saham tersebut menjadi milik Asabri, kemudian saham tersebut ditransaksikan atau dikendalikan oleh para terdakwa sehingga saham tersebut seolah-olah bernilai tinggi dan likuid.

Padahal transaksi tersebut hanya transaksi semu untuk menguntungkan para terdakwa serta merugikan investasi Asabri. Hal tersebut dikarenakan Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga di bawah harga perolehan saham tersebut.

“Dan biasanya kalau diinvestasikan ke instrumen investasi tidak aman itu sangat sering ada feedback yang diberikan oleh manajer investasi atau tempat di mana uang itu diinvestasikan kepada pengelola dana. Itu yang terjadi misal di kasus Asabri,” ujar dia.

Kemudian, lanjut dia, sangat memungkinkan juga terjadinya fraud atau suatu kecurangan tindakan penipuan. Sebagai contoh misal imbal hasil dalam program ini tidak diberikan sepenuhnya, tetapi kemudian sebagian justru diberikan kepada para pengelola.

“Jadi jenis utamanya adalah bentuk korupsi dalam bentuk dua macem itu. Pertama suap atau gratifikasi kedua adalah fraud. Fraud bisa dengan Pasal 2 atau 3 UU tindak pidana korupsi,” ujar dia.

|'Semoga kebijakan yang dibuat pemerintah bisa lebih fair dan pengelolaan dananya diawasi ketat. Berharap kebijakan Tapera dapat memberikan manfaat yang nyata dan pengelolaan dana yang transparan. Namun pertanyaan yang perlu dijawab oleh pemerintah adalah "apa yang membuat masyarakat rela gaji mereka dipotong untuk Tapera?'|