KPK Periksa Waketum Golkar Soal Kasus Dugaan Gratifikasi dan TPPU

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 13 Desember 2023 13:52 WIB
Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh mengenakan rompi tahanan KPK (Foto: Dok MI)
Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh mengenakan rompi tahanan KPK (Foto: Dok MI)
Jakarta, MI - Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh, di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (12/12).

 "Saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya akses pengurusan perkara melalui jalur tersangka Gazalba Saleh," kata Ali dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (13/12). 

Meski demikian, Ali belum membeberkan lebih lanjut perkara apa yang Nurdin mintakan kepada Gazalba untuk diurus. Adapun Nurdin pernah mendekam di jeruji besi karena korupsi dalam kasus distribusi minyak goreng Bulog. Meski demikian, Nurdin tetap melanjutkan kariernya di dunia politik.

|Baca Juga: Hakim Nonaktif Gazalba Saleh Bebas, KPK Kalah Lagi|

Saat ini, ia sedang mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan II dengan nomor urut II. 

Sebagian di antaranya telah berubah bentuk menjadi aset seperti properti.

Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, Gazalba diduga menerima gratifikasi terkait putusan perkara di Mahkamah Agung. Perkara itu di antaranya terdakwa Rennier Abdul Rachman Latief yang terjerat kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asabri tahun 2012-2019. 

|Baca Juga: Hakim Nonaktif Gazalba Saleh Divonis Bebas|

Kemudian, eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang terjerat kasus korupsi ekspor benih benur lobster (BBL). 

Ia juga diduga menerima gratifikasi terkait pengkondisian peninjauan kembali (PK) Ketua Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Samudera Sejahtera (Komura) Jafar Abdul Gaffar. “Sebagai bukti permulaan awal di mana dalam kurun waktu 2018 sampai dengan 2022 ditemukan adanya aliran uang berupa penerimaan gratifikasi sejumlah sekitar Rp 15 miliar,” tandas Asep.