Sepanjang 2023, Kejagung Tangani 183 Perkara TPPO, Berikut Rinciannya

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 20 Agustus 2023 15:37 WIB
Jakarta, MI - Sepanjang tahun 2023, Kejaksaan Agung (Kejagung) menangani 183 perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO), termasuk memberikan perlindungan hukum kepada para korban. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana,  menyatakan bahwa dalam kurun 2021 hingga 2023, tercatat sebanyak 496 perkara Perdagangan Orang yang ditangani oleh kejaksaan seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut dirinci, pada 2021 terdapat 148 perkara TPPO, kemudian 2022 sebanyak 165 perkara dan sepanjang 2023 terdapat 183 perkara. Menurut Ketut, angka ini merupakan komitmen Kejaksaan Agung atas perintah Presiden Joko Widodo memberantas TPPO. Namun upaya untuk memberantas TPPO kerap terkendala, seperti karena masalah birokrasi dan adanya bekingan aparat terhadap pelaku. "Kami memiliki komitmen untuk memberikan perlindungan yang maksimal kepada para korban TPPO," kata Ketut, Minggu (20/8). Salah satu kasus di luar negeri yang ditangani Atase Kejaksaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok berhasil memberikan bantuan hukum kepada 6 orang Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka adalah Eric Febrian, Raindy Wijaya, Hendriant Tritrahadi, Chelsy Alviana, Andrian, dan Andrean Faust, yang merupakan korban TPPO. Keenam WNI tersebut ditangkap di Provinsi Chiang Rai, Thailand, setelah diseberangkan secara ilegal dari Tachilek, Myanmar. K eenam korban dari TPPO tersebut ditahan karena dianggap melarikan diri dan tidak menghadiri persidangan atas dakwaan illegal entry, penyebaran penyakit menular lain, dan pelanggaran protokol Covid-19 pada Juli 2022. “Setelah didampingi Atase Kejaksaan RI di Bangkok, penghentian penuntutan dengan alasan korban dari TPPO, ini merupakan sejarah penghentian penuntutan pertama di Thailand,” kata Ketut. Ketut meminta kepada para jaksa agar memprioritaskan dan mengambil langkah cepat dalam penanganan kasus TPPO, dan kemudian melindungi para korban. Ia juga mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sering dihadapi oleh para pekerja migran, di antaranya permasalahan dokumen kelengkapan, biaya penempatan berlebih, overstay, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pemerkosaan, bahkan terjadi perdagangan orang serta kasus pidana lainnya. Adapun mayoritas menimpa perempuan pekerja migran Indonesia. Ketut menegaskan sejak Februari 2021, Kejaksaan Agung telah bekerja sama dengan International Organization for Migration (IOM) Indonesia membangun platform Sistem Integrasi Data Perkara TPPO dan website jampidum.kejaksaan.go.id yang sudah difungsikan. "Website tersebut berisi tentang sistem informasi perkara penuntutan untuk seluruh perkara tindak pidana umum yang ditangani oleh seluruh satuan kerja baik Cabang Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung," ujar Ketut. Pada setiap tahapan penanganan perkaranya, disajikan berdasarkan data statistik tahun perkara, jenis pidana, jenis perkara, penerimaan berkas, usia tersangka/terdakwa, peta kriminal dan lain-lain. Khusus terkait dengan penanganan TPPO, sistem integrasi data perkara ini dikembangkan agar masyarakat dan seluruh anggota Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, termasuk aparat penegak hukum di seluruh Indonesia dapat menelusuri perkembangan penuntutan, termasuk mendapatkan informasi mengenai jenis hukuman, profil pelaku, jenis kelamin, usia korban, permohonan restitusi, dan modus operandi yang berkembang. Ketut menerangkan bentuk komitmen Kejaksaan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan pekerja migran Indonesia adalah dengan menempatkan perwakilan Kejaksaan di luar negeri yang terdapat di beberapa negara seperti Singapura, Bangkok, Hong Kong, dan Riyadh Arab Saudi. "Perwakilan di luar negeri memiliki peran secara aktif memberikan pendampingan, sosialisasi dan advokasi terhadap berbagai permasalahan hukum para pekerja migran Indonesia, termasuk memperjuangkan dari jeratan hukuman mati," demikian Ketut.

Topik:

Kejagung TPPO