TPDI dan Perekat Nusantara Bakal Gugat Jokowi Lagi "Apa yang Terjadi dengan Putusan 90 MK Sebangun dengan PTUN Jakarta, Tidak Netral dan Memihak?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 Februari 2024 21:03 WIB
Petrus Salestinus (Foto: Istimewa)
Petrus Salestinus (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Advokat Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara akan kembali mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh pejabat negara dan pihak terkait lainnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta, Pulo Gebang, Jakarta Timur (Jaktim).

Gugatan PMH itu tentang dinasti politik dan nepotisme sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana harus dihentikan karena sangat merugikan bangsa dan negara.

Langkah tersebut akan dilakukan setelah hakim Oenoen Pratiwi, Ketua PTUN Jakarta yang diwakili oleh Hakim Joko Setyono, Wakil Ketua PTUN Jakarta, membacakan penetapan atas gugatan PMH No. 11/G/TF/2023/PTUN.JKT, terhadap pejabat pemerintah cq. Presiden Joko Widodo, Hakim Konstitusi Anwar Usman dan kawan-kawan pada hari ini, Selasa (13/2) sekitar pukul 13.00 WIB.

Hasilnya, "Menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima".

Adapun substansi gugatan PMH dari Advokat TPDI dan Perekat Nusantara adalah meminta kepada PTUN Jakarta agar: 

Menyatakan Joko Widodo, Anwar Usman dkk telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum dalam jabatan masing-masing; 

Menyatakan tidak sah dan batal dengan segala akibat hukumnya tindakan faktual pejabat pemerintah cq. tergugat I (Ir. Joko Widodo), tergugat II (Anwar Usman), tergugat III (Gibran R. Raka) dan seterusnya, membangun dinasti politik untuk nepotisme dalam pemerintahan; 

Dan menyatakan tidak sah dan batal dengan segala akibat hukumnya dinasti politik yang dibangun oleh tergugat I untuk nepotisme di dalam pemerintahan dan seterusnya.

Alasan hakim PTUN Jakarta yang menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima, karena para penggugat hanya menggugat Ir. Joko Widodo, Anwar Usman dkk. sebagai pribadi.

Sementara kewenangan absolut PTUN adalah mengadili obyek gugatan berupa keputusan pejabat tata usaha negara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tindakan faktual pejabat pemerintahan, sehingga gugatan para penggugat dinyatakan tidak dapat diterima.

Padahal menurut Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, di dalam gugatan PMH dimaksud jelas disebutkan bahwa yang digugat adalah Joko Widodo dalam kapasitas baik sebagai pribadi maupun sebagai Presiden Republik Indonesia.

"Begitu juga terhadap Anwar Usman, baik sebagai pribadi maupun sebagai Hakim Konstitusi, juga terhadap Gibran Rakabuming Raka, baik sebagai pribadi maupun sebagai Wali Kota Surakarta, dan seterusnya," kata Petrus Salestinus dalam keterangannya seperti dikutip Monitorindonesia.com, Selasa (13/2).

Petrus Salestinus pun mempertanyakan, mengapa pribadi dan jabatannya tidak dipisahkan? Oleh karena memang tidak boleh dipisahkan, mengingat tindakan PMH di dalam jabatan pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari faktor pribadi pejabat tersebut.

"Apalagi ini menyangkut perbuatan melanggar hukum terkait dinasti politik dan nepotisme," jelasnya.

Dasar hukumnya adalah pada UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dimana wewenang PTUN telah diperluas hingga berwenang mengadili tindakan faktual pejabat pemerintahan disamping mengadili mengenai keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual, final dan serta menimbulkan akibat hukum.

"Dengan perluasan kewenangan hakim PTUN sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, mestinya Hakim Oenoen Pratiwi, tidak boleh bermental 'kerdil' dan 'pengecut' ketika menghadapi gugatan PMH pejabat pemerintahan yang mengandung aspek politik dan kekuasaan".

Karena itu sangat disayangkan sikap Ketua PTUN Jakarta Oenoen Pratiwi, yang seharusnya memimpin persidangan gugatan PMH ini.

Namun dalam 3 kali persidangan selalu absen dan diwakilkan kepada Hakim lainnya. 

"Ini bukti sikap Oenoen Pratiwi yang 'kerdil' dan 'pengecut' lalu memihak kepentingan dinasti politik, sehingga lari dari tanggung jawab profesinya itu," bebernya.

Menurut Petrus Salestinus, sikap Oenoen Pratiwi, Ketua PTUN Jakarta, menunjukan PTUN Jakarta ketika mengadili perkara ini tidak steril dari intervensi kekuasaan. 

"Apa yang terjadi dengan MK dalam perkara No.90/PUU-XXI/2023, juga terjadi dengan PTUN Jakarta (sama dan sebangun) yaitu tidak netral dan memihak kekuasaan atau Tergugat I dan kawan-kawan," demikian Petrus Salestinus. (wan)