Hakim MK Arief Hidayat Sebut Pilpres 2024 Lebih Hiruk Pikuk, Hakim Lainnya Soroti Dana Bansos Naik Usai Pandemi Covid-19

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 April 2024 05:00 WIB
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (Foto: Istimewa)
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Empat menteri Kabinet Indonesia Maju hadir di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta pada Jumat (5/4/2024) kemarin untuk memberikan keterangan pada sidang lanjutan perkara perselisihan hasil Pilpres 2024.

Mereka diminta bersaksi atas tudingan bahwa program bantuan sosial pemerintahan Jokowi Widodo yang dilakukan jelang pencoblosan berkontribusi besar dalam kemenangan telak Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Keempat menteri itu adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy; Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto; Menteri Keuangan Sri Mulyani; dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.

Hakim Mahkamah Konstitusi atau MK, Arief Hidayat, menyebut Pilpres 2024 “lebih hiruk pikuk” karena ada beberapa pelanggaran yang terjadi antara lain di MK dan Komisi Pemilihan Umum.

Arief menyebut yang didalilkan pemohon sidang adalah “cawe-cawenya kepala negara”. Posisi presiden sebagai kepala negara, sambung Arief, membuat kurang elok apabila MK memanggil presiden sehingga pembantu–pembantu presiden para menteri yang kemudian diminta hadir MK.

Beberapa pertanyaan yang diajukan Hakim Arief adalah penggantian Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog).

“Pada saat-saat kritis, saya baca di mass media [media massa], Kepala Bulog Budi Waseso diganti - ada faktor apa ini yang melatarbelakangi? Saya mau tanya. kita pengen mengerti karena ini termasuk bisa disebut juga masalah yang tadi disebut cawe-cawe,” katanya.

Kepada Menteri Sosial Tri Rismaharini, Arief juga menanyakan saat-saat di mana Presiden Jokowi disebut “bagi-bagi bansos di depan Istana” juga saat kunjungan-kunjungan di daerah yang “kebetulan” pada waktu kampanye sehingga menimbulkan saling curiga dan fitnah.

“Itu menggunakan bansos apa? Dari mana itu?” tanya Arief.

Frasa “agenda pembangunan nasional dan penugasan presiden” yang tertera di pelaksanaan tugas Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga dipertanyakan Arief.

“Apa sih yang dimaksud dengan penugasan presiden? Apakah penugasan-penugasan tertentu karena presiden juga cawe-cawe itu . Karena kalau saya membaca agenda pembangunan nasional [maka] penugasan presiden juga termasuk. Tapi kok ada frasa khusus?” ujar Arief.

Sementara Hakim MK lainnya, Arsul Sani, mempertanyakan mengapa dana untuk perlindungan sosial termasuk bantuan sosial naik setelah pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir.

“Sebagai gambaran, pada awal Covid tahun 2020 anggaran perlinsos ini Rp498 T [triliun]. Puncak Covid 2021, Rp468,2 T. Kemudian ketika tahun lalu Rp443,4 T [pada 2023] kemudian ini kembali naik [menjadi] Rp498 T,” ujar Arsul memaparkan.

“Tadi sih memang dijelaskan karena faktor El Nino, [tapi] apakah El Nino menjadi satu-satunya faktor? Karena prasangkanya ini dikaitkan dengan Pemilu 2024.”

Senada, Hakim MK Enny Nurbaningsih juga meminta kepada para menteri untuk memaparkan seberapa besar sebetulnya risiko sosial yang terjadi di 2023 kemudian yang diperkirakan akan terjadi di 2024 yang membuat ada peningkatan perlinsos sekitar Rp50 triliun.

Hakim MK Saldi Isra juga menyoroti hal ini dan meminta kepada menteri untuk menjelaskan soal angka Rp50 triliun tersebut. "Itu yang dikemukakan 2 pemohon yang dana Rp50 T itu yang jangan-jangan itu yang dimanfaatkan untuk menghadapi pemilu,” tutur Saldi.