Kejanggalan dan Motif Densus 88 Kuntit Jampidsus

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 28 Mei 2024 11:41 WIB
Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri (AT) (Foto: MI/Net/Ist)
Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri (AT) (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror (AT) Polri sejatinya mengawasi dan memata-matai potensi serangan teror atau jaringan lain yang mengancam publik atau negara. 

Tetapi Bripda IM (Iqbal Mustofa) anggota Densus 88  AT Polri yang ditangkap polisi militer justru mengintai Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah. Hal ini dinilai janggal.

"Densus juga tidak memiliki kewenangan melakukan penangkapan maupun penyelidikan non-terorisme. Karena tugas pokoknya memang dalam pemberantasan terorisme, seperti itu," kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic (ISESS) Bambang Rukminto dikutip pada Selasa (28/5/2024).

Kejanggalan lainnya adalah pengamanan yang dilakukan terhadap Jaksa Febrie oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Menurut Bambang, hal ini tidak ada dasar aturannya karena biasanya pengaman terhadap VVIP (Very Very Important Person) terhadap pejabat negara dilakukan oleh polisi.

"Makanya ke depan harusnya ada undang-undang yang mengatur terkait pengamanan VVIP, kemudian VVIP ini pejabat negara, kemudian pengamanan objek vital nasional, gedung kejaksaan," katanya.

Sejak kasus dugaan penguntitan jampidsus dibicarakan publik, muncul konvoi kendaraan bermotor oleh anggota kepolisian di seputaran gedung Kejaksaan Agung. Lalu, Puspom TNI mengerahkan personelnya untuk mengamankan markas Korps Adhiyaksa.

Namun, dalam keterangan kepada media, TNI membantah pengamanan ini terkait dengan isu penguntitan Jampidsus oleh Densus 88. TNI sudah punya kesepakatan dengan kejaksaan terkait pengamanan.

"Bantuan pengamanan sudah dilaksanakan jauh sebelumnya dalam rangka mendukung giat penegakan hukum, karena kita di sana ada Jampidmil (jaksa agung muda bidang pidana militer)," kata juru bicara TNI, Mayjen TNI Nugraha Gumilar.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto turut merespon penguntitan tersebut. Didik menyinggung soal peran, tugas pokok dan fungsi Polri. 

Menurut Didik, dirasa tidak masuk akal jika Polri melakukan pengintaian tersebut. "Rasanya jauh dari akal sehat publik, jika Polri menggunakan kekuatan yang tidak sesuai dengan tupoksinya," kata Didik, Minggu (26/6/2024).

Terpenting perlu ada konfirmasi dan klarifikasi baik antara Kejagung maupun pihak Kepolisian. Hal itu penting kata Didik, agar spekulasi yang terjadi saat ini di masyarakat tidak semakin berkembang dan liar.

"Tentu, kita semua berharap agar Pak Febri atau Kejaksaan Agung bisa mengkonfirmasi dan mengklarifikasi rumor yang berkembang ini. Selain Kejaksaan Agung, saya rasa Polri penting juga untuk segara mengklarifikasi pemberitaan tersebut," ungkapnya.

Menurutnya, jika memang pengintaian terjadi untuk menghalangi sebuah tindak pidana hukum korupsi seperti yang berkembang saat ini, dirinya prihatin.

Meski begitu, sejauh ini, dirinya selaku anggota Komisi III DPR RI menyatakan belum mendapatkan informasi secara detail dan valid perihal informasi tersebut. "Namun demikian jika itu benar adanya, tentu menjadi keprihatinan kita bersama, dan juga keprihatinan serta kewaspadaan terhadap penegakan hukum kita," tandasnya.

Sementara itu, anggota Komisi III dari Demokrat, Santoso menilai kasus pembuntutan yang dialami Jampidsus itu bisa membuka pandora dari dalang mega korupsi tambang timah. "Atas kasus yang diduga pengintaian kepada Jampidsus oleh oknum anggota Densus 88 akan diharapkan dapat membuka kotak pandora siapa tokoh central penambangan timah ilegal yang sangat besar ini," kata Santoso, Minggu (26/5/2024).

Santoso pun meyakini Jampidsus tidak akan kendor setelah mengalami kasus pembuntutan tersebut. Sebaliknya, ia nantinya akan lebih fokus untuk membuka dalang pelaku tambang timah ilegal tersebut. "Kepada Jampidsus saya yakin tidak akan mundur setelah peristiwa ini. Namun semakin focus dalam mengurai siapa para pelaku penambangan timah ilegal ini yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 270 triliun," bebernya.

Di sisi lain, Santoso meyakini Jaksa Agung ST Burhanuddin akan terus mendorong agar kasus ini terkuak dan membongkar siapa saja yang terlibat.

Selain itu, kerugian negara bisa dikembalikan ke negara untuk kepentingan rakyat. "Jaksa Agung memiliki tekad itu setelah kita melihat kinerjanya selama ini yang begitu banyak membongkar kasus mega korupsi yang menggerogoti kekayaan negara saat ini," pungkasnya.

Motif versi ICW
Peneliti dari lembaga antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Dika Anandya, menilai sikap diam dari kepolisian dan kejaksaan agung "menandakan bahwa ada konflik yang kemudian itu tidak bisa dibuka kepada publik".

"Saya kira menjadi penting juga bagi Jaksa Agung (ST Burhanuddin) untuk memberikan statement berkaitan dengan tindak lanjut atau perkembangan dari penanganan perkara yang saat ini sedang mereka tangani," kata Dika.

Selain itu, ia mengatakan terungkapnya penguntitan jaksa penyidik kasus rasuah ini merupakan "upaya intimidasi kinerja kejaksaan Agung dalam menangani perkara tindak tindana korupsi".

Sebenarnya untuk mengungkap motif dari kasus ini tidak sulit. Anggota Densus 88 yang sempat tertangkap dalam kasus ini bisa mengungkap dalangnya.

"Kapolri Listyo Sigit Prabowo bisa segera memberikan keterangan resmi dan juga menindaklanjuti semua anggota Densus yang terlibat dalam operasi tersebut, termasuk menyampaikan informasi sampai pada siapa yang memerintahkan anggota Densus tersebut untuk melakukan operasi pengintaian," katanya.

Namun, belum ada keterangan resmi apapun dari polisi. Oleh karena itu, menurut Dika, di tengah situasi ini, Presiden Joko Widodo bisa mengambil inisiatif memberikan pernyataan apa yang sebenarnya terjadi.

"Peran presiden menjadi sangat penting sebagai panglima tertinggi penegakan hukum agar kemudian ke depan koordinasi dan juga supervisi antar kejaksaan dan juga kepolisian itu bisa terjalin dengan baik," katanya.

Dia menambahkan, jika tidak ada, maka ini bisa menjadi "preseden buruk" terhadap upaya penegakan hukum yang diduga melibatkan salah satu institusi ini.

Sebagaimana diberitakan, seorang Anggota Densus 88 AT Polri dikabarkan terciduk di sebuah restoran di Jakarta Selatan saat membuntuti Jampidus Kejagung Febrie Adriansyah.

Adapun identitas dari anggota Densus yang tertangkap itu disebut-sebut berinisial IM dan berpangkat Bripda. Saat itu dia diduga menyamar sebagai karyawan perusahaan BUMN dengan inisial HRM. Berdasarkan informasi yang diterima, dia saat itu tengah menjalankan misi "Sikat Jampidsus."

IM diduga menjalankan misi bersama lima orang lainnya yang dipimpin seorang perwira menengah Kepolisian. Namun hanya IM yang berhasil diamankan pengawal Jampidsus saat itu. Terkait peristiwa ini, pihak Kejaksaan Agung masih enggan banyak bersuara begitupun juga dengan Kapolri.

Motif versi IPW
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menyebut yang terlibat dalam kasus ini ialah antarinstitusi negara.

"Pemantauan adalah satu metode surveilance untuk mendapatkan bahan keterangan ataupun data dari yang dipantau. Nah ini agak mengejutkan memang ya, yang dipantau ini Jampidsus oleh densus. Artinya ini satu sesuatu yang serius," kata Sugeng Sabtu (25/5/2024).

IPW melihat pemantauan yang dilakukan anggota Densus 88 tersebut bukan merupakan perintah individu melainkan tugas yang harus dijalankan.

Sehingga, Sugeng menduga penguntitan itu dilakukan diakibatkan dua isu. Isu itu, disebutnya adalah soal kasus korupsi hingga konflik Kewenangan penanganan kasus.

"IPW melihat dugaan ada dua isu, satu isu pertama adalah isu dugaan korupsi, isu kedua adalah terkait dengan adanya Konflik kewenangan antara dua lembaga, antara polisi dan kejaksaan," ungkapnya.

IPW pun mengaku mendapatkan informasi bahwa kejaksaan begitu intensif terlibat di dalam penanganan kasus tambang. Padahal kasus tambang itu bukan kewenangan kejaksaan, tetapi kejaksaan mengambil dari aspek korupsinya.

Sebab kasus tambang itu adalah tindak pidana yang menjadi kewenangan Polri Beberapa kasus tambang, kata Sugeng, banyak ditangani oleh Kejagung hingga diduga menjadi pemicu hal tersebut dilakukan. "Karena itu apakah ada kaitan dengan dua isu tersebut, ya ditanyakan kepada masing masing instansi saja," jelasnya.