Menelisik Rumah Jampidsus Febrie Adriansyah di Kebayoran Baru, Bagaimana dengan LHKPN-nya?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 22 Juli 2024 15:34 WIB
Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah (Foto: Dok MI/Repro Ant)
Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah (Foto: Dok MI/Repro Ant)

Jakarta, MI - Pasca penguntitan oleh oknum Anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror (AT) Polri, Bripda Iqbal Mustofa (IM) pada beberapa waktu lalu, nama Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah kembali tersorot. 

Mulai dari rumah mewahnya hingga pada pengeksekusian Alex Denni yang buron sejak 2013 lalu (11 tahun).

Rumah putih megah dengan gaya arsitektur Eropa di Jalan Radio 1, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tak lupa mencuri perhatian karena luasnya yang lebih dari 500 meter persegi. Rumah ini memiliki pagar hitam setinggi dua meter dan posisinya paling mencolok di antara rumah lainnya.

Seorang pedagang kopi di sekitar rumah tersebut mengungkapkan bahwa rumah itu milik seorang pejabat kejaksaan. "Ada rumah pejabat Kejaksaan Agung RI di sini," kata sang pedagang enggan disebutkan namanya pada 24 Juni 2024 lalu.

Sementara itu, ketika ditanya apakah rumah itu milik Febrie Adriansyah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), anggota TNI yang berjaga di lokasi tersebut mengaku, jika dia menjawabnya maka akan terjadi keributan.

"Saya hanya jaga, jangan tanya saya, nanti malah jadi ribut," tegasnya menjawab.

Lantas apakah benar rumah tersebut diduga milik mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bandung itu?

Merujuk pada laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) tahun 2022, Febrie memiliki tanah seluas 220 meter persegi dan bangunan seluas 180 meter persegi di Jakarta Selatan dengan nilai lebih dari Rp 2,3 miliar. Tanah dan bangunan tersebut diakui sebagai hasil sendiri.

Fakta ini sangat berbeda dengan rumah di Jalan Radio 1 yang diperkirakan luasnya lebih dari 400 meter persegi. Berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) tahun 2022 di Jakarta Selatan, harga tanah mencapai Rp 30 juta per meter persegi, sehingga luas tanah sekitar 400 meter persegi nilainya mencapai sekitar Rp 12 miliar.

Monitorindonesia.com, Senin (22/7/2024) mengonfirmasi hal soal rumah itu kepada Febrie Adrianysah, namun belum memberikan respons.

Kendati, berdasarkan data kependudukan, Febrie menaruh alamat di Jalan Lobak IV No. 8, Kelurahan Pulo, Kebayoran Baru.

Sementara itu, dalam LHKPN Rugun Saragih, jaksa fungsional yang merupakan istri Febrie, tercatat memiliki tanah seluas 638 meter persegi dan bangunan seluas 200 meter persegi di Jakarta Selatan dengan nilai lebih dari Rp 10,8 miliar. Rugun mengaku mendapatkan tanah dan bangunan tersebut dari hibah dengan akta.

Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengungkapkan bahwa ribuan pegawai dan pejabat Kejaksaan RI belum melengkapi LHKPN, termasuk Febrie. "Febrie belum mengirim laporan terbaru di e-LHKPN. Kami sedang verifikasi, jika sudah oke baru akan tayang," kata Pahala.

Menurut Pahala, kepada mereka yang tidak melaporkan hartanya hingga profil yang tak sesuai, maka terindikasi dugaan korupsi. "Jika tidak melaporkan harta atau ada transaksi penerimaan di luar profil, serta laporan tidak sesuai, itu indikasi tindak pidana korupsi," tegas Pahala.

Pahala juga menyebut bahwa KPK tidak dapat memberikan sanksi terhadap pejabat yang tidak melaporkan LHKPN, namun bisa menelusuri dan menyelidiki kekayaan pejabat tersebut jika tidak terverifikasi. "Jika ada indikasi, kami bisa masuk ke penyelidikan atas putusan pimpinan," kata Pahala.

Sementara itu, mengenai objek tanah/bangunan dalam LHKPN Rugun, KPK belum memeriksanya secara faktual dan baru sebatas verifikasi administratif. Pelaporan nilai tanah/bangunan tergantung pada NJOP atau harga pasar. Nilai tanah/bangunan yang tidak berubah sejak 2020 hingga 2022 kemungkinan karena penyelenggara negara tidak tahu nilai NJOP atau harga pasar terbaru saat pelaporan.

Menurut LHKPN tahun 2022 juga, Febrie memiliki beberapa properti lainnya, yakni tanah seluas 220 meter persegi dan bangunan seluas 180 meter persegi di Jakarta Selatan senilai lebih dari Rp 2,3 miliar, tanah seluas 652 meter persegi senilai lebih dari Rp 597 juta di Tangerang Selatan, tanah seluas 704 meter persegi senilai lebih dari Rp 644 juta di Tangerang Selatan, serta tanah seluas 2.301 meter persegi senilai Rp 473 juta di Kota Bandung.

Monitorindonesia.com, Senin (22/7/2024) telah menanyakan kepada Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar soal apakah semua pejabat di Kejagung sudah melaporkan LHPN-nya, termasuk Febrie Adriansyah, namun Harli yang juga salah satu capim KPK itu tak merespons.

Febrie Adriansyah dilaporkan ke KPK
Febrie Adriansyah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Senin, 27 Mei 2024 lalu. Yang melaporkannya adalah Indonesia Police Watch (IPW) bersama organisasi masyarakat lainnya bernama Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST).

Febrie Adriansyah dilaporkan atas dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan lelang barang rampasan benda sita korupsi milik PT Gunung Bara Utama (GBU) yang dilakukan Kejagung. Hal itu diungkapkan oleh Koordinator KSST, Ronald. 

Adapun benda sita korupsi tersebut adalah berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama yang disita dalam kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya. 

Dijelaskan Ronald, KSST koalisi sipil selamatkan tambang melaporkan aduan masyarakat bahwa ada indikasi dugaan korupsi yang dilakukan terhadap lelang aset tambang PT Gunung Bara Utama yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Agung. 

Ronald memastikan pihaknya telah menyerahkan data-data terkait dugaan korupsi yang dilakukan Jampidsus Febrie Adriansyah ke KPK. Tak hanya data, dia menyebut fakta-fakta seputar praktik rasuah itu juga sudah diserahkan ke lembaga antirasuah. 

Diungkapkan Ronald terlapornya Jaksa Agung Jampidsus, kemudian penilai aset PPA Kejaksaan Agung, kemudian dari DJKN Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan lain-lain. 

Lebih lanjut Ronald menjelaskan, ada kerugian negara terhadap aset saham tersebut. Pasalnya, kata dia, nilai lelangnya tidak sesuai dengan kerugian yang dialami negara. “Jadi kerugiannya itu kita taksir senilai Rp 11 triliun tapi dilelang hanya kemudian Rp1,9 triliun. Berarti ada indikasi kerugian Rp9 triliun,” tutur Ronald kepada wartawan Gedung Merah Putih KPK.

Pada kesempatan yang sama, Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menyebut aset-aset milik PT Gunung Bara Utama yang disita Kejagung dalam kasus korupsi Jiwasraya senilai Rp10 triliun di tahun 2023. 

Namun, dia mengungkapkan Kejagung melelang barang sitaan milik PT Gunung Bara Utama hanya senilai Rp1,945 triliun, tidak sampai Rp10 triliun pada Juli 2023. 

“Selisih Rp9 triliun ini jadi tanda tanya? Padahal infonya ada yang menawar Rp4 triliun bahkan kewajiban pengembalian kerugian negara itu sekitar Rp9,6 triliun pengembaliannya tapi dijual cuma Rp1,945 triliun," kata Sugeng.

Terkait perkembangan laporan tersebut, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Senin (22/7/2024) belum memberikan respons. 

Hanya saja pada beberapa waktu lalu dia menyatakan bahwa "Pada prinsipnya bila dokumen yang diajukan sebagai lampiran laporan lengkap, akan diproses dan ditindaklanjuti. Bila tidak, akan dimintakan untuk dilengkapi terlebih dahulu oleh pelapor".

Sementara itu, menurut Kapuspenkum Kejagung sebelumnya, Ketut Sumedana, laporan yang dilayangkan terhadap Febrie salah alamat. "Ya laporan salah alamat lah," kata Ketut saat ditemui, Kamis (30/5/2024).

Sedianya, Ketut mengaku tak masalah jika ada yang melaporkan pihaknya. Sebab, hal tersebut merupakan suatu bentuk kontrol sosial. Namun disayangkan jika laporan yang dibuat tidak berdasar.

"Silakan aja kita seneng kalau proses laporan itu bener. itu sebagai bentuk kontrol masyarakat terhadap penegak hukum, kalau bener kita apresiasi, tapi kalau enggak kan kasihan nama baik orang, nama baik institusi," ungkap Ketut.

Febrie tangani kasus besar, tapi...
Febrie Adriansyah dikenal karena menangani kasus-kasus mega-korupsi seperti korupsi investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), korupsi proyek Base Transceiver Station (BTS) 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga dugaan korupsi di PT Timah Tbk yang diduga merugikan negara hingga Rp 300 triliun.

Walau nilai kerugian negara dalam kasus yang ditangani Febrie selalu fantastis, hasil putusan pengadilan sering kali berbeda.

Dalam kasus korupsi Asuransi Jiwasraya, sebanyak enam orang dijebloskanke penjara. Di antaranya, Direktur Utama Asuransi Jiwasraya (AJS) Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan AJS Hary Prasetyo, dan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan AJS Syahmirwan. 

Kemudian, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, dan Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro. 

Dalam kasus Jiwasraya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat kerugian yang dialami Jiwasraya sebesar Rp 16,8 triliun. 

Dalam kasus korupsi Asabri, Kejagung menjebloskan 9 orang di antaranya mantan Direktur Utama PT Asabri Mayor Jenderal (Purn) Adam R Damiri, Letnan Jenderal (Purn) Sonny Widjaja, Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro. 

Kemudian eks Kepala Divisi Investasi Asabri Ilham W. Siregar, Lukman Purnomosidi, Hari Setiono, dan Jimmy Sutopo. Dalam kasus tersebut, BPK mencatat kerugian negara mencapai Rp22,78 triliun. 

Kemudian kasus korupsi fasilitas kredit PT Bank Tabungan Negara (BTN), sebanyak lima orang tersangka juga mendekam di penjara di antaranya Ghofir Effendy, Yunan Anwar, Icshan Hasan, H Maryono, dan Widi Kusuma Putranto.

Terkini, nama Febrie tersorot di kasus dugaan korupsi yang menyeret Alex Denni yang ditangkap pada Kamis (18/7/2024) malam kemarin.

Pasalnya, meskipun Alex Denni telah divonis pada tahun 2007 dan putusan kasasi keluar pada 2013, Alex baru ditahan setelah lebih dari satu dekade.

Adapun penangkapan ini merupakan tindak lanjut dari vonis Pengadilan Negeri Bandung pada tahun 2007 yang menghukum Alex dengan satu tahun penjara atas kasus korupsi Proyek Dana PT Telkom Tahun 2003. Pada tahun 2013 itulah, Febrie Adriansyah menjabat sebagai Kajari Bandung. 

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), inilah potret bobroknya penegakan hukum di Tanah Air. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengungkapkan, putusan itu, menimbulkan banyak tanda tanya besar. 

Dia tidak bisa menerima alasan Kejari Bandung yang mengaku baru menerima Akta Pemberitahuan Kasasi pada 4 April 2024 dan sudah 3 kali memanggil.

“Kejari Bandung dalam putusan Kasasi adalah salah satu pihak, tidak mungkin tidak tahu bahwa putusan tersebut telah inkracht," ujarnya dikutip Monitorindonesia.com, Senin (22/7/2024).

Alex Denni
Alex Denni mengenakan kaos kuning (Foto: Dok MI)

Kurnia Ramadhana mempertanyakan kenapa Kejari Bandung tidak meminta saja salinan putusan kasasi untuk kemudian mengeksekusi Alex?

Atas kebobrokan penegakan hukum itu, dia menyarankan Kejaksaan Agung memeriksa Kajari Bandung.  "Kejagung harus memeriksa Kepala Kejari Bandung, terutama yang menjabat pada tahun 2013 saat perkara tersebut inkracht," kata Kurnia.

Lantas Kurnia mempertanyakan, proses seleksi ketat dengan penelusuran rekam jejak sebelum Alex mengemban posisi strategis yang sempat dia jabat itu. “Kami mempertanyakan bagaimana mekanisme pemilihan pejabat publik di instansi-instansi tersebut?" 

Bahkan Badan Intelijen Negara (BIN) pun terlibat dalam menelusuri rekam jejak calon pejabat, sebagaimana aturan Peraturan Presiden Nomor 177 Tahun 2014 Tentang Tim Penilai Akhir, Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Dalam dan Dari Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dan Pimpinan Tinggi Madya.

Menanggapi kritik ICW itu, Kasi Intel Kejari Kota Bandung, Wawan Setiawan mengatakan, hak ICW untuk bicara, pihaknya tidak bisa melarang. 

“Faktanya kami baru menerima (salinan putusan kasasi) April dan langsung kami tindak lanjuti dengan pemanggilan dan pencarian sampai akhirnya diterbitkan Surat Pencekalan dan hasil akhirnya adalah penangkapan beliau (Alex) di Bandara Soekarno Hatta Jakarta," tegas Wawan. (mi/thee)