Korporasi Mana Bakal Tergelincir Korupsi Dana Sawit BPDPKS?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 5 November 2023 03:59 WIB
Ilustrasi Kelapa Sawit (Foto: Net/Ist)
Ilustrasi Kelapa Sawit (Foto: Net/Ist)

Jakarta, MI - Dana insentif biodiesel yang cukup besar dikuncurkan kepada korporasi pengelola sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) diduga dikorupsi perusahaan-perusahaan pengelola sawit. Setidaknya ada 23 perusahaan yang sempat menerima dana sekitar Rp57,7 triliun sepanjang 2016-2020.

Dari jumlah perusahaan itu, sudah ada beberapa yang masuk dalam daftar pemeriksaan Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung telah meningkatkan penanganan kasus tersebut ke penyidikan setelah menemukan bukti permulaan yang cukup, yakni adanya perbuatan melawan hukum dalam penentuan Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel

Berdasarkan catatan Monitorindonesia.com, pada Selasa (31/10) Kejagung memeriksa Manager Produksi PT Pelita Agung Agriindustri dan PT Permata Hijau Palm Oleo.

Untuk PT Pelita Agung Agriindustri dalam periode 2016-2020 menerima sekitar Rp1,79 triliun. Jika dirinci, besaran itu terdiri dari Rp662 miliar pada 2016, Rp245 miliar pada 2017, Rp100,5 miliar pada 2018, Rp72,2 miliar pada 2019, dan pada Rp759 miliar pada 2020.

Sementara PT Permata Hijau Palm Oleo menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS sebesar Rp2,63 triliun sepanjang 2017-2020. Angka itu terdiri dari Rp392 miliar pada 2017, 212,7 miliar pada 2018, Rp109,8 miliar pada 2019, dan Rp1,35 triliun pada 2020.

Selanjutnya, pada Kamis (2/11) kemarin, Kejagung memeriksa saksi dari pihak PT Multi Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Multimas Nabati Asahan. Pemeriksaan yang dilakukan pada kamis (2/11) itu melalui manager produksinya yakni inisial CADT.

Diketahui, PT Multi Nabati Sulawesi sempat menerima insentif sebesar Rp259,7 miliar pada 2016. Begitu juga dengan tahun berikutnya sebesar Rp419 miliar. Lalu, Multi Nabati Sulawesi kembali mengantongi insentif sebesar Rp229 miliar pada 2018, Rp164,3 miliar pada 2019, dan Rp1,09 triliun pada 2020.

Selanjutnya, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Bioenergi Indonesia mendapatkan insentif biofuel dari BPDPKS sebesar Rp1,92 triliun pada 2016, Rp1,5 triliun pada 2017, dan Rp732 miliar pada 2018.

Kemudian, perusahaan kembali menerima dana insentif sebesar Rp499 miliar pada 2019 dan Rp4,35 triliun pada 2020.

Sementara PT Wilmar Nabati Indonesia mendapatkan dana insentif sebesar Rp8,76 triliun selama 2016-2020. Rinciannya 2,24 triliun diterima pada 2016, Rp1,87 triliun pada 2017, Rp824 miliar pada 2018, Rp288,9 miliar pada 2019, dan Rp3,54 triliun pada 2022.

Dimakan Korporasi

Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron, mengaku kecewa atas kasus ini. "Dari dulu saya sudah minta bahwa pengelolaan dana kelapa sawit itu sesuai dengan undang-undang perkebunan itu dikelola dalam satu lembaga dibawah Kementerian, supaya apa? Supaya ada mitra kerjanya, tau terkait dengan penggunaan anggaran, perencanaannya apa untuk ke depan," kata Herman kepada Monitorindonesia.com di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (2/11) lalu.

Herman mengaku, sebagai ketua Panitia Kerja (Panja) UU Perkebunan saat itu sudah berinisiasi untuk melahirkan norma. Sebab, nilai produksi kelapa sawit milik rakyat waktu itu masih jauh jika dibandingkan oleh kelapa sawit yang dimiliki korporasi. 
 
"Karena kami dulu bahkan Ketua panjanya adalah saya membuat peraturan itu, membuat klausul dalam undang-undang itu dimanfaatkan untuk melakukan peremajaan kelapa sawit rakyat yang secara produktifitas masih jauh dibawah rata-rata kelapa sawit yang dimiliki oleh korporasi," ujarnya. 

"Nah, setelah kemudian penggunaannya banyak digunakan untuk mensubsidi bio diesel. Ya, tentu saya sebagai ketua panja revisi Undang-Undang perkebunan yang melahirkan institusi ini merasa kecewa," lanjutnya. 

Herman mengatakan kelapa sawit rakyat yang dikembangkan oleh rakyat itu sendiri justru anggarannya dimakan oleh korporasi-korporasi besar. "Karena apa? yang sesungguhnya kelapa sawit rakyat yang dikembangkan malah kemudian anggaran ini diserap oleh korporasi-korporasi besar," ungkapnya sesal.

Untuk itu, Herman meminta, ke depan tupoksinya harus dipindahkan ke Kementerian yang terafiliasi oleh DPR, karena saat ini BPDPKS barada dibawah Kemenko perekonomian sehingga tidak masuk dalam portofolio kemitraan dengan DPR.

"Ke depan saya kira harus dimasukkan ke dalam Kementerian sehingga pengawasannya lebih akuntabel, bisa dijalankan oleh DPR mengawasi dana-dana, sebenarnya itu kan dana partisipasi korporasi yang ditujukan untuk meningkatkan produktifitas sawit rakyat," jelasnya.

Semua Korporasi Itu Harus Diperiksa

Ditegaskan Herman, Kejagung harus memeriksa semua perusahaan yang sempat menerima dana insentif triliunan rupiah itu. "Ya silahkan saja seluruh yang terkait dengan penggunaan dana kelapa sawit yaa harus diperiksa donk. Dan sejauh mana mereka menggunakan dana kelapa sawit itu," kata Herman.

"Karena itu kan dana tidak ada yang mengawasi, kalau gak ada yang mengawasi yaa saya teriak-teriak dari luar," timpalnya.

Herman pun menyerahkan sepenuhnya kasus korupsi di BPDPKS kepada penegak hukum. Namun, ia menyesalkan anggaran sebesar itu seharusnya bisa dirasakan oleh para petani sawit.  

"Kalau untuk urusan korupsi, penyalahgunaan kewenangan dan lain sebagainya, silahkan ke penegak hukum. Tapi esensinya bagi kami adalah supaya anggaran itu betul-betul bermanfaat bagi rakyat khususnya para petani sawit rakyat," jelasnya.

Jangan Seenaknya!

Herman menegaskan, sejak awal dirinya menyarankan untuk melakukan investigasi pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dia pun mendukung langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan penyidikan dugaan korupsi dana bio diesel di BPDPKS.

“Sejak dari dulu saya sampaikan, audit investigasi BPDPKS sampai ke akar-akarnya. Jangan seenaknya menggunakan dana itu untuk yang lain-lain,” ujarnya kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (16/9).

Dana tersebut seharusnya diperuntukan untuk kepentingan petani sawit. Dia pun tidak pun bisa dapat menutupi kekecewaannya. “Karena saya sebagai pimpinan panja UU Perkebunan dulu berinisiasi melahirkan norma itu untuk peremajaan sawit rakyat dan kepentingan petani sawit,” bebernya.

Seharusnya ada badan yang memang secara fokus mengurusi dana BPDPKS ini. Sehingga, dana tersebut dapat dikelola dengan baik. Dan, para petani sawit sejahtera. “Benar sekali, sebaiknya ada kemitraan yang jelas sehingga dapat diawasi dan jelas pertanggungjawabannya,” ujarnya.

Kinerja BPDPKS Amburadul

Menurut anggota Komisi III DPR RI Santoso, jika manajemen BPDPKS baik, maka tidak akan terjadi dugaan kasus tindak pidana korupsi (tipikor). 

"Kinerja amburadul, terbukti besarnya nilai dugaan korupsi dari dana yang dikelola BPDPKS sangat besar. Jika manajemennya baik akan sulit pihak direksi melakukan korupsi yang besar itu," katanya saat dihubungi Monitorindonesia.com, Kamis (2/11).

Dugaan tipikor itu terjadi karena minimnya pengawasan kepada BPDPKS, lanjut politikus partai Demokrat ini, terlebih instansi yang membawahi BPDPKS tentu ikut terlibat dalam tipikor tersebut.  

"Peristiwa korupsi itu terjadi bisa saja karena pengawasan dari oknum instansi yang membawahi BPDPKS ikut terlibat dan kecipratan dana yang dikorupsi itu. Karena modus korupsi tidak dilakukan oleh seorang diri melainkan dilakukan secara bersama- sama," jelasnya.

Terlebih lagi komoditas sawit sangat menjanjikan dan menjadi primadona untuk mendapatkan dana besar.  "Komoditas sawit adalah primadona dalam mendapat dana baik untuk pajak & juga iuran dari perusahaan yang bergerak di bidang sawit kepada BPDPKS," bebernya.

Mirip Kasus BTS Kominfo

Santoso pun menegaskan, Komisi III DPR akan memanggil aparat penegak hukum terkait apabila kasus penanganan tersebut tidak berjalan sesuai prosedur, apalagi jika sampai terhenti di tengah jalan. 

"Akan dipanggil jika penanganan kasus hukumnya tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku apalagi sampai berhenti tanpa adanya kejelasan," tegasnya. 

Kata Santoso, dugaan kasus tipikor di BPDPKS terbilang mirip dengan kasus BTS di Kominfo. Untuk itu, setiap aliran dana yang keluar harus diperiksa kemana tujuan dan asalnya. 

"Praktek korupsi ini hampir mirip dengan kasus BTS di Kominfo, dimana uang iuran perusahaan yang bergerak di bidang tertentu dananya disalahgunakan oleh pengelola. Namun, menteri yang membawahi badan tersebut harus diperiksa juga, apakah mengalir dana korupsi itu kepada pimpinan yang ada di atasnya," tukasnya.

BPDPKS Hormati Proses Hukum

Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan, pihaknya menghormati proses yang tengah dilakukan Kejaksaan Agung. “Pada prinsipnya BPDPKS menghormati dan akan kooperatif terhadap langkah hukum yang saat ini dilakukan oleh Kejagung terkait dengan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh BPDPKS,” ujar Eddy Kamis (21/9).

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan, bahwa pihkanya telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi. Namun, Ia belum dapat menerangkan dimana saja penggeledahan dilakukan. Selain itu, Kejagung juga belum bisa mengatakan berapa kerugian negara dalam perkara ini.

23 Perusahaan

1. PT Anugerahinti Gemanusa merupakan anak usaha dari PT Eterindo Wahanatama pada tahun 2016 menerima insentif biodiesel sebesar Rp49,48 miliar.

2. PT Batara Elok Semesta Terpadu menerima insentif dari BPDPKS senilai Rp1,13 trilun sepanjang 2017-2020. Rinciannya, pada tahun 2017 menerima Rp241 miliar, Rp109,83 miliar diterima pada 2018, Rp56,45 miliar pada 2019, dan Rp728 miliar diterima pada tahun 2020.

3. PT Bayas Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp3,5 triliun sepanjang 2016-2020. Pada 2016, perusahaan ini menerima Rp438 miliar. Selanjutnya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp866 miliar pada 2018, Rp487,8 miliar pada 2018, Rp129,9 miliar pada 2019, dan Rp1,58 triliun pada 2020.

4. PT Dabi Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp412,3 miliar pada 2017-2020. Rinciannya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp110,5 miliar pada 2017, Rp171,3 miliar pada 2018, Rp80,82 miliar pada 2019, dan Rp49,68 miliar pada 2020.

5. PT Datmex Biofuels menerima insentif biodiesel sebesar Rp677,8 miliar pada 2016. Lalu, Rp307,5 miliar pada 2017. Selanjutnya, perusahaan ini menerima insentif sebesar Rp143,7 miliar pada 2018, Rp27 miliar pada 2019, dan Rp673 miliar pada 2020.

6. PT Cemerlang Energi Perkasa mendapatkan insentif sebesar Rp615,5 miliar pada 2016, lalu Rp596 miliar pada 2017, lalu Rp371,9 miliar pada 2018, Rp248,1 miliar pada 2019, dan Rp1,8 triliun pada 2020.

7. PT Ciliandra Perkasa menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp2,18 triliun sepanjang 2016-2020. Rinciannya sebesar Rp564 miliar diterima pada 2016, Rp371 miliar pada 2017, Rp166 miliar pada 2018, Rp130,4 miliar pada 2019, dan Rp953 miliar pada 2020.

8. PT Energi Baharu Lestari menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp302,47 miliar sepanjang 2016-2018. Rinciannya, sebesar Rp126,5 miliar pada 2016, Rp155,7 miliar pada 2017, dan Rp20,27 miliar pada 2018.

9. PT Intibenua Perkasatama menerima insentif sebesar Rp381 miliar pada 2017. Kemudian, Rp207 miliar pada 2018, Rp154,29 miliar pada 2019, dan Rp967,69 miliar pada 2020.

10. PT Musim Mas mendapatkan insentif biodiesel sebesar Rp7,19 triliun sepanjang 2016-2020. Tercatat, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp1,78 triliun pada 2016, Rp1,22 triliun pada 2017, Rp550,3 miliar pada 2018, Rp309,3 miliar pada 2019, dan Rp3,34 triliun pada 2020.

11. PT Sukajadi Sawit Mekar menerima lebih dari Rp1,32 triliun sepanjang 2018-2020. Rinciannya, perusahaan mengantongi insentif sebesar Rp165,2 miliar pada 2018, Rp94,14 miliar pada 2019, dan Rp1,07 triliun pada 2020.

12. PT LDC Indonesia menerima insentif sekitar Rp2,77 triliun pada 2016-2020. Tercatat, BPDPKS mengucurkan insentif sebesar Rp496,2 miliar pada 2016, Rp596,68 miliar pada 2017, Rp231,1 miliar pada 2018, Rp189,6 miliar pada 2019, dan Rp1,26 triliun pada 2020.

13. PT Multi Nabati Sulawesi menerima insentif sebesar Rp259,7 miliar pada 2016. Begitu juga dengan tahun berikutnya sebesar Rp419 miliar. Lalu,  kembali mengantongi insentif sebesar Rp229 miliar pada 2018, Rp164,3 miliar pada 2019, dan Rp1,09 triliun pada 2020.

14. PT Wilmar Bioenergi Indonesia mendapatkan insentif biofuel dari BPDPKS sebesar Rp1,92 triliun pada 2016, Rp1,5 triliun pada 2017, dan Rp732 miliar pada 2018. Kemudian, perusahaan kembali menerima dana insentif sebesar Rp499 miliar pada 2019 dan Rp4,35 triliun pada 2020.

15. PT Wilmar Nabati Indonesia mendapatkan dana insentif sebesar Rp8,76 triliun selama 2016-2020. Rinciannya, Wilmar Nabati menerima insentif sebesar 2,24 triliun pada 2016, Rp1,87 triliun pada 2017, Rp824 miliar pada 2018, Rp288,9 miliar pada 2019, dan Rp3,54 triliun pada 2020.

16. PT Pelita Agung Agriindustri dalam periode 2016-2020 menerima dana insentif sekitar Rp1,79 triliun. Terdiri dari Rp662 miliar pada 2016, Rp245 miliar pada 2017, Rp100,5 miliar pada 2018, Rp72,2 miliar pada 2019, dan pada Rp759 miliar pada 2020.

17. PT Permata Hijau Palm Oleo menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS sebesar Rp2,63 triliun sepanjang 2017-2020. Angka itu terdiri dari Rp392 miliar pada 2017, 212,7 miliar pada 2018, Rp109,8 miliar pada 2019, dan Rp1,35 triliun pada 2020.

18. PT Sinarmas Bio Energy dalam periode 2017-2020 menerima sekitar Rp1,61 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp108,54 miliar pada 2017, Rp270,24 miliar pada 2018, Rp98,61 miliar pada 2019, dan Rp1,14 triliun pada 2020.

19. PT SMART Tbk dalam periode 2016-2020 menerima sekitar Rp2,41 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp366,43 miliar pada 2016, Rp489,2 miliar pada 2017, Rp251,1 miliar pada 2018, Rp151,6 miliar pada 2019, dan Rp1,16 triliun pada 2020.

20. PT Tunas Baru Lampung Tbk menerima insentif dari BPDPKS sekitar Rp2,08 triliun sepanjang 2016-2020. Angka itu terdiri dari insentif Rp253 miliar pada 2016, Rp370 miliar pada 2017, Rp208 miliar pada 2018, Rp143,9 miliar pada 2019, Rp1,11 triliun pada 2020.

21. PT Kutai Refinery Nusantara mendapatkan aliran dana dari BPDPKS sebesar Rp1,31 triliun sejak 2017 sampai 2020. Rinciannya, Kutai Refinery mengantongi insentif sebesar Rp53,93 miliar pada 2017, Rp203,7 miliar pada 2018, Rp109,6 miliar pada 2019, dan Rp944 miliar pada 2020.

22. PT Primanusa Palma Energi hanya mendapatkan insentif biofuel sebesar Rp209,9 miliar pada 2016.

23. PT Indo Biofuels menerima dana insentif biofuel sebesar Rp22,3 miliar pada 2016.

(Wan)