DKPP Didesak Pecat Komisioner KPU

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 20 November 2023 01:03 WIB
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) (Foto: MI/Aswan)
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) didesak memecat komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas dugaan pelanggaran kode etik pada penerimaan berkas dan penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (Cawapres) 2024 mendampingi calon presiden (Capres) Prabowo Subianto.

Demikian ditegaskan organisasi, relawan dan kelompok pro-demokrasi menjelang aksi mimbar rakyat di depan kantor DKPP Jakarta Pusat yang akan dilaksankan pada Rabu (22/11) mendatang.

Selain itu, mereka juga menuntut kepada KPU, Bawaslu, ASN, TNI dan Polri agar bertindak netral dalam pemilu 2024

Lalu, mereka meminta jangan ada pemilu curang yang akan mengembalikan Indonesia pada masa orde baru. Terakhir, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak memilih pemimpin yang melanggar konstitusi dengan sengaja merubah Undang-Undang demi kekuasaan.

Adapun KPU dinilai telah melanggar prinsip jujur, adil, dan berkepastian hukum. Pasalnya, pada tanggal 25 Oktober 2023, KPU telah menerima menerima berkas pendaftaran pencalonan Gibran.

Padahal berdasarkan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 yang ketika itu belum direvisi, Gibran tidak memenuhi syarat karena belum berusia 40 tahun. 

KPU baru mengubah persyaratan pada 3 November 2023 untuk memasukkan amar Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal kepala daerah bisa maju pilpres sebelum 40 tahun. Aturan itu seharusnya baru diberlakukan untuk Pilpres 2029.

"Mestinya, di awal KPU tidak menerima pendaftaran pasangan yang tidak menenuhi syarat umum 40 tahun, karena perubahan penambahan syarat itu tindakan yang melawan hukum, dalam arti ada konflik kepentingan," ujar guru besar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar kepada Monitorindonesia.com, Senin (20/11).

Kemudian, soal Peraturan KPU (PKPU) yang baru, seharusnya dikembalikan seperti yang lama. "Yang baru menurut saya sudah tidak mempunyai kekuatan hukum, karena didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang hakimnya diberhentikan jabatannya karena kesalahan memutus," tandas Abdul Fickar Hadjar. (LA)