Penghapusan Ambang Batas Parlemen Dinilai Ciptakan Ketidakstabilan pada Pemerintahan

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 6 Maret 2024 17:23 WIB
Gedung DPR RI (Foto: MI/Dhanis)
Gedung DPR RI (Foto: MI/Dhanis)

Jakarta, MI - Pengamat Politik Citra Institute, Efriza menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang meniadakan angka ambang batas parlemen atau parlementary threshold (PT) pada Pemilu 2029 memiliki dampak negatif.

"Langkah MK menghapus ambang batas parlemen, sebenarnya baik. Hanya saja konsekuensinya adalah partai kita menjadi partai ekstrem, kita tidak menuju kepada sistem kepartaian multipartai sederhana," kata Efriza saat dihubungi Monitorindonesia.com, Rabu (6/3/2024). 

Kata Efriza, putusan tersebut hanya akan membuat partai-partai kecil gembira tanpa memikirkan kestabilan pemerintahan ke depan. 

"Partai-partai kecil bersorak-sorai dan ini malah memperumit proses pengambilan keputusan, sebab sistem parliamentary threshold sudah ajeg digunakan empat kali pemilu, dan tentu saja tidak baik bagi kestabilan pemerintahan ke depan," ujarnya. 

Sebab kata Efriza, dengan angka ambang batas 4 persen ditiadakan maka akan terjadi pengambilan keputusan di DPR RI menjadi berlarut-larut.

"Konsekuensinya partai-partai kecil dibawah 4 persen bisa lolos di parlemen. Ini artinya proses di parlemen dalam pengambilan keputusan akan semakin berlarut-larut. Partai-partai kecil itu akan juga kemungkinan besarnya menikmati kursi di kementerian," ucapnya. 

"Ini juga memberikan dampak kualitas terhadap proses perundang-undangan yang memungkinkan malah merosot dari segi kualitas dan kuantitas," tambahnya menegaskan. (DI)