Pondok Pesantren sebagai Penjaga Akhlak dan Moral Generasi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 23 Oktober 2021 14:57 WIB
Monitorindonesia.com - Pondok Pesantren adalah penjaga akhlak dan adab atau moral generasi. Hal ini dikemukakan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti pada Peringatan Milad Hari Santri ke-6 sekaligus Rapat Kerja Nasional DPP FOKSI, di Jakarta, Sabtu (23/10/2021). Dalam sambutan yang disampaikan secara virtual, LaNyalla menilai pondok dengan kyai dan santrinya tetap hidup mandiri dan memberi solusi, serta mampu menjaga kearifan lokal dalam pembangunan. "Kalau dari analisis ideologi, ekonomi, sosial dan budaya, pondok pesantren merupakan salah satu institusi yang paling nyata berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat," kata LaNyalla. Dari sisi ideologi, urai dia, Pancasila jelas menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertama dan di Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi bahwa negara ini berlandaskan ketuhanan. Pondok Pesantren sebagai penjaga akhlak moral generasi. "Artinya dengan melaksanakan ajaran agama dan penghayatan sila pertama akan melahirkan manusia beradab dan berakhlak," jelasnya. Dari sisi ekonomi, pesantren sudah memasuki ruang ekonomi melalui koperasi dan usaha sektor pertanian, peternakan, dan lainnya. Dari sisi sosial, pesantren menjadi penjaga kearifan local di tengah gencarnya arus gaya hidup global, pesantren berperan sebagai penyeimbang sekaligus penjaga moral generasi penerus. Kontribusi pesantren sudah dilakukan sejak era sebelum kemerdekaan dan jadi prototipe masyarakat madani. "Ada yang sakit, minta doa ke kiai. Ada yang tidak punya beras, datang ke pondok pesantren. Ada yang punya masalah, minta nasehat kiai, dan seterusnya. Begitulah kenyataannya kalau kita baca sejarah," tuturnya. Peran pengasuh pesantren juga tidak bisa dihapus dari sejarah kemerdekaan. Termasuk peran para ulama dan kiai nusantara dalam memberikan pendapat dan masukan kepada BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang kemudian menjadi PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. "Termasuk sikap legowo para ulama dan kiai, yang demi keberagaman setuju menghapus anak kalimat ‘Piagam Jakarta’ yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,  dengan kalimat ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’," tutupnya.   (Tar)