Vonis Mati Ferdy Sambo Setimpal Perbuatannya

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 14 Februari 2023 16:32 WIB
Jakarta, MI - Pakar Hukum Tata Negara (HTN) UIN Syarif Hidayatullah Ismail Hasani, menilai vonis mati atas terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Yosua, Ferdy Sambo secara mainstream dianggap setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya, yakni merencanakan pembunuhan sadis itu. Namun, demikian dalam konstruksi hukum hak asasi manusia, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran hak hidup. "Hak hidup adalah given dan nilai universal bagi rezim hukum HAM dan dianut negara-negara beradab. Artinya dalam menghukum orang yang dianggap bersalah, negara melalui pranata peradilan tidak diperkenankan menghukum mati, apapun jenis kejahatannya," ujar Ismail, Selasa (14/2). Memang dapat dimaklumi, lanjut Ismail, bahwa hakim mengambil vonis mati karena pidana mati masih dianggap sebagai hukum positif, meski arus utama para pembentuk UU sudah meletakkan hukuman mati sebagai pidana alternatif dalam KUHP baru. "Pengadilan ditingkat banding dan kasasi masih memungkinkan negara mengkoreksi pidana mati dengan hukuman lain yang setimpal dan membuat efek jera," ungkapnya. Sementara itu, peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie menyebutkan, bahwa paralel dengan peristiwa yang melilit sejumlah anggota Polri, peristiwa Sambo harus menjadi pembelajaran serius bagi Polri. "Bukan hanya fokus membenahi citra tetapi kinerja. Agenda reformasi Polri harus kembali digerakkan setelah mandek dalam satu dekade terakhir," katanya. Ferdy Sambo Divonis Mati Sebelumnya, mantan Kepala Divisi Propam itu divonis pidana mati. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menilai Ferdy Sambo terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. "Menjatuhkan hukuman terdakwa dengan pidana mati," ujar ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2). Selain itu, Sambo dinilai terbukti melakukan obstruction of justice atau perintangan penyidikan pembunuhan Brigadir J. Dalam menjatuhkan putusan, hakim turut mempertimbangkan sejumlah keadaan memberatkan dan meringankan untuk Sambo. Hal memberatkan Sambo di antaranya telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia. Selain itu, ia dinilai berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Sementara itu tidak ada hal meringankan bagi Sambo. Sambo dinilai terbukti melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 49 jo Pasal 33 UU ITE jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Putusan ini lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang menginginkan Sambo dihukum dengan pidana penjara seumur hidup. Adapun dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, Putri Candrawathi, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Ricky Rizal atau Bripka RR, dan Kuat Ma'ruf turut terlibat. Baru 4 terdakwa yang divonis dalam kasus ini, yakni Ferdy Sambo (pidana mati), Putri Candrawathi (20 tahun penjara), Kuat Ma'ruf (15 tahun penjara) dan Ricky Rizal (13 tahun penjara). Sementara itu, satu-satunya terdakwa yang mendapatkan justice collaborator dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang tak lain adalah Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E telah dituntut 12 tahun penjara, akan mejalani sidang vonisnya pada hari Rabu (15/2) besok. #Vonis Mati Ferdy Sambo