Yang Bohong Joko Widodo atau Agus Rahardjo?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 5 Desember 2023 12:02 WIB
Agus Rahardjo (kiri) dan Joko Widodo (kanan) (Foto: Dok MI)
Agus Rahardjo (kiri) dan Joko Widodo (kanan) (Foto: Dok MI)
Jakarta, MI - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Agus Raharjo mengaku mendapat tekanan langsung dari Presiden ihwal pengusutan kasus dugaan korupsi e-KTP yang menjerat Mantan Ketua DPR-RI, Setya Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar kala itu.

Sementara Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan dirinya tak pernah memerintahkan penghentian kasus ini. Bahkan, Joko Widodo juga menyangkal adanya pertemuan khusus dengan ketua KPK 2015 sampai dengan 2019 itu.

Menurut Joko Widodo, kasus e-KTP sudah berjalan sesuai hukum yang berlaku, dan Setya Novanto sudah mendapat hukuman berat.

Kendati antara kedua pengakuan tersebut menjadi pertanyaan publik, siap yang berbohong? "Presiden Jokowi berbohong? Atau Agus Rahardjo yang berbohong? Melihat rekam jejak, saya lebih yakin dengan Agus Rahardjo," kata pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dalam unggahannya di X (Twitter) @dennyindrayana seperti dikutip Monitorindonesia.com, Selasa (5/12).

Denny menyatakan lebih yakin dengan Agus Rahardjo, menilai Jokowi terlalu sering berbohong dan memainkan kata-kata. "Presiden Jokowi terlalu sering berdusta dan bermain kata-kata," beber Denny.

Contohnya, Jokowi berjanji memperkuat KPK, tetapi dianggap melemahkan lembaga tersebut. Denny juga mencatat janji politik Jokowi terkait Pilpres dan Gibran yang dianggapnya sebagai pemaksakan untuk kepentingan dinasti keluarga.

"Janjinya cawe-cawe Pilpres untuk kepentingan bangsa, ternyata memaksakan Gibran melalui Putusan Paman Usman untuk kepentingan dinasti keluarga," ungkapnya.

Bukan hanya itu, kata Denny, Jokowi juga menyatakan tidak ada pertemuan dengan Agus dalam catatan agenda acara. "Cara ngeles itu saja sudah sangat meragukan, memalukan. Apalagi, Pratikno hanya mengatakan, lupa. Harusnya Beliau lebih jujur, melawan lupa," jelasnya.

Menurut Denny, sejak lama Presiden Jokowi sudah wajib dimakzulkan, agar tidak terlalu banyak drama Korea yang ang merusak moralitas konstitusi bangsa Indonesia. "Beranikah DPR memulai hak bertanya atau penyelidikan terhadap Jo-Kawe?," tandasnya.

Joko Widodo diketahui telah membantah telah mengintervensi kasus korupsi pada tahun 2017 itu. Ada tiga alasan yang dapat dijadikan bukti bahwa pemerintah tidak melakukan intervensi dalam kasus tersebut.

"Yang pertama coba dilihat, dilihat di berita tahun 2017 di bulan November saya sampaikan saat itu Pak Novanto, Pak Setya Novanto ikuti proses hukum yang ada. Jelas berita itu ada semuanya. Yang kedua, buktinya proses hukum berjalan. Yang ketiga, Pak Setya Novanto sudah dihukum, divonis dihukum berat 15 tahun," ujar Joko Widodo, Senin (4/12).

Di lain sisi, Jokowi menyatakan bahwa ia telah meminta staf di Sekretariat Negara untuk menyelidiki pertemuannya denga Agus di Istana Negara. Hasilnya, menunjukkan bahwa tidak ada pertemuan yang dimaksud. Joko Widodo lantas menanyakan alasan mengapa kasus tersebut diungkapkan kembali setelah enam tahun berlalu.

Lalu, apa motif di balik pengungkapan ulang kasus tersebut? "Terus untuk apa diramaikan itu, kepentingan apa diramaikan itu, untuk kepentingan apa," katanya.

Sebelumnya Agus mengaku pernah dipanggil Joko Widodo pada 2017 dan diminta untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setnov.

Adapun Setnov saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu parpol pendukung Jokowi. “Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak,” kata Agus dalam sebuah wawancara.

“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” tambah Agus.

Saat itu, Agus merasa heran karena biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus. Namun, saat itu ia dipanggil sendirian dan diminta untuk masuk ke Istana melalui jalur masjid, bukan melewati ruang wartawan.

Saat tiba di ruang pertemuan, Agus melihat Jokowi sudah dalam keadaan marah, dan ia bingung serta tidak memahami penyebab kemarahan Jokowi.
Setelah duduk, baru Agus menyadari bahwa Jokowi menginginkan agar penyelidikan yang melibatkan Setnov dihentikan oleh KPK.

Meskipun demikian, Agus menolak perintah tersebut dengan alasan bahwa Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) untuk kasus E-KTP dengan tersangka Setnov telah dikeluarkan tiga minggu sebelumnya.