Anies Desak Investigasi Ulang Tragedi KM 50, Psikologi Forensik Singgung "Kode Tirai Biru": Siapa Berani Jadi Kapolri?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 13 Desember 2023 23:37 WIB
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan (Foto: MI/Dhanis)
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan (Foto: MI/Dhanis)

Jakarta, MI - Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri menilai calon presiden (capres) nomor urut 1, Anies Baswedan akan mempunyai tantangan berat jika terpilih menjadi presiden 2024 dalam hal memilih Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).

Reza mengatakan demikian karena ada alasannya. Bahwa bari pernyataan Anies, ada tiga kasus hukum yakni penembakan terhadap anak-anak di tengah aksi demo pendukung Prabowo pada 2019, penembakan Laskar FPI atau kasus KM 50 dan tragedi sepak bola Kanjuruhan. Kasus itu sudah dianggap final atau sudah berkeuatan hukum tetap (inkracth).

Tapi Anies malah mendesak negara mengusut tuntas ataupun melakukan investigasi ulang. Dengan pesan sedemikian rupa, menurut Reza, Anies tampaknya akan menerobos ke area paling rawan. 

"Dalam dunia penegakan hukum yakni soal penghormatan HAM dan ketuntasan pengungkapan kasus," kata Reza kepada wartawan, Rabu (13/12).

|Baca Juga: Anies Bakal Buka Layanan Pengacara Gratis, Hotman Paris Buka Suara|

Reza yang pernah jadi saksi ahli dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua menilia hal ini jelas tidak mudah, bukan soal pekerjaannya, tetapi siapa yang akan bisa melakukan itu. Siapakah anggota Polri yang mampu menjadi Kapolri untuk mengemban tugas tersebut? Inilah, kata Reza, tugas terberat Anies.

"Bayangkan Presiden Anies berkata ke Kapolri; saya berikan Anda waktu seratus hari. Lewat dari itu, anda saya copot," katanya.

Reza pun coba menganalisanya dengan mengawali soal kode tirai biru (blue curtain code) dalam organisasi kepolisian. Menurutnya, ini adalah subkultur menyimpang. "Ditandai kecenderungan personel kepolisian untuk menutup-nutupi kesalahan sesama kolega," bebernya.

Lalu, soal fakta soal faksi-faksi di institusi Polri. Di mana Reza memvalidasi kebenarannya. Karena itu, potensi obstruction of justice dari internal Polri bisa jadi penghambat. Batu sandungan bagi Kapolri mendatang.

Selain itu, menurut Reza, adanya keharusan membayar pelanggaran (police misconduct) compensation. Di mana, ungkap dia, hukuman seperti itu diterapkan pada lembagai kepolisian kebanyakan negara maju. 

Maka dari itu, jika investigasi ulang atas kasus-kasus dimaksud menyimpulkan telah terjadi police misconduct, maka betapa besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh Polri.

|Baca Juga: Tiga Capres Adu Strategi Atasi Konflik Papua|

Dengan demikian pula, Reza berkesimpulan, bahwa mencari kapolri untuk memenuhi keinginan Anies itu berat, bukan berarti mustahil. 

"Tetap harus dipompa keyakinan bahwa jumlah polisi yang baik lebih banyak daripada yang tidak baik alias oknum," tukasnya.

Sebelumnya, Anies dalam arena debat perdana pemilihan presiden (pilpres) di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Selasa 912/12) malam, mempertanyakan penyelesaian tragedi di KM 50 yang menewaskan enam laskar Front Pembela Islam karena ditembak polisi di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50.

"Ada dua peristiwa yang menarik perhatian dan perlu dibahas, yaitu Kanjuruhan dan KM 50. Proses hukum telah berjalan, namun rasa keadilan belum muncul dan masih menyisakan banyak pertanyaan, keluarga korban masih mempertanyakan,” ungkap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

|Baca Juga: Prabowo ke Ganjar: Masalah HAM Jangan Dipolitisasi Ya!

Menurut Anies, dua peristiwa berdarah itu masih memuat banyak pertanyaan. Keluarga-keluarga korban masih mempertanyakan kejelasan peristiwanya. Anies ingin kasus itu dituntaskan dengan seadil-adilnya.

Sedikit kembali kebelakang soal kasus KM 50 itu. Bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah mengklasifikasikan kasus itu di luar hukum atau extrajudicial killing.

|Baca Juga: Deretan Janji Manis Anies, Prabowo dan Ganjar di Arena Debat Pilpres 2024

Sementara itu, menurut data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sepanjang 2018-2020 tercatat ada 216 kasus yang digolongkan sebagai extrajudicial killing dengan total korban jiwa mencapai 305 orang. Khusus pada 2020, tercatat ada 44 kasus extrajudicial killing dengan total korban jiwa 46 orang. Dari jumlah ini, 6 di antaranya adalah korban jiwa kasus KM 50.

Kemudian, pada 2021, Amnesty International mencatat ada 33 kasus extrajudicial killing dengan total 27 korban pada 2021.