Oknum Auditor BPK Diduga Minta Duit Rp12 Miliar Buat Status WTP Kementan Berujung Proses Etik?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 10 Mei 2024 18:33 WIB
Karikatur - Ilustrasi - Oknum Auditor BPK RI meminta Rp 12 miliar untuk WTP Kementan (Foto/Karikatur: Dok MI/Gatot Eko Cahyono)
Karikatur - Ilustrasi - Oknum Auditor BPK RI meminta Rp 12 miliar untuk WTP Kementan (Foto/Karikatur: Dok MI/Gatot Eko Cahyono)

Jakarta, MI - Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) buka suara terkait adanya auditor yang meminta uang Rp 12 miliar kepada pihak Kementerian Pertanian (Kementan) untuk mengkondisikan laporan keuangan agar mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Hal ini sebagaimana terungkap dalam persidangan lanjut kasus korupsi di Kementan menyeret mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan dua anak buahnya.

Lantas apakah akan berujung proses etik terhadap dua oknum auditor BPK, yakni Victor dan Haerul Saleh?

Dikutip Monitorindonesia.com dari laman resmi bpk.go.id, Jum'at (10/5/2024) bahwa BPK menyatakan tetap berkomitmen untuk menegakkan nilai-nilai dasar. Dalam melaksanakan tugas, klaim BPK, sudah sesuai standar berlaku.

Apabila ada auditor yang menyelewengkan jabatannya bakal diproses etik. "Apabila ada kasus pelanggaran integritas, maka hal tersebut dilakukan oleh oknum yang akan diproses pelanggaran tersebut melalui sistem penegakan kode etik," katanya.

BPK juga menghormati proses persidangan kasus hukum tersebut, dan mengedepankan asas praduga tak bersalah. BPK mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan tidak mentolerir tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, Kode Etik, standar dan pedoman pemeriksaan.

Untuk itu, BPK telah membangun sistem penanganan atas pelaporan pelanggaran atau whistleblowing system dan program pengendalian gratifikasi untuk memitigasi risiko terjadinya pelanggaran kode etik BPK.

Termasuk pemrosesan dan pemberian hukuman kepada oknum di BPK yang terbukti melanggar kode etik, melalui Majelis Kehormatan Kode Etik BPK.

KPK diminta usut dugaan keterlibatan oknum BPK lainnya
Guru besar sekaligus pakar hukum Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul begitu disapa Monitorindonesia.com, Jum'at (10/5/2024), menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengusut fakta-fakta baru yang muncul di persidangan Syahrul Yasin Limpo dengan mengumpulkan barang bukti dan memulai penyelidikan.

Dia menilai aliran dana dari Kementan ke BPK itu sudah termasuk suap. "Kalau ada alat bukti lain, misalnya saksi lain atau petunjuk berupa dokumen aliran dana atau rekening bank maka oknum auditor BPK tersebut bisa diusut untuk ditingkatkan ke tingkat penyidikan (menjadi tersangka)," kata Chudri.

Tak hanya oknum Auditor BPK, tetapi dia juga meminta KPK mendalami apakah melibatakan atasannya di lembaga auditor negara itu. "Diperdalam apakan oknum BPK itu sendirian atau melibat oknum BPK lainnya, adanya penyertaan/deelneming, termasuk ke atasannya," tegasnya menambahkan.

Sebagaimana terungkap dalam persidangan, bahwa Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), Hermanto mengungkapkan Oknum Anggota BPK meminta uang Rp 12 Miliar ke Kementerian Pertanian (Kementan) untuk mengkondisikan hasil audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tahun 2021.

Namun, hanya disanggupi dibayar Kementan Rp 5 miliar.

Awalnya, Jaksa KPK mendalami keterangan Hermanto soal pemeriksaan BPK di Kementan. Hermanto mengakui, mendapatkan WTP dari BPK saat dirinya menjabat sebagai Sesditjen PSP.  "Sebelum kejadian WTP itu, saksi ada kenal namanya Haerul Saleh? Victor? Siapa orang-orang itu?," tanya jaksa KPK.

"Kalau Pak Victor itu memang auditor yang memeriksa kita (Kementan)," jawab Hermanto. "Kalau Haerul Saleh?," tanya jaksa.

"Ketua AKN (Akuntan Keuangan Negara) IV," kata Hermanto.

Hermanto juga mengakui mengenal Haerul Saleh, yang merupakan Anggota IV BPK. Lalu, Hermanto menjelaskan, adanya temuan BPK terkait pengelolaan anggaran Food Estate di Kementan.

Diketahui, Program Strategis Nasional (PSN) itu dianggarkan dalam pos anggaran Kementerian Pertanian (Kementan). Hermanto mengatakan, temuan soal Food Estate itu tidak banyak namun mencakup nilai anggaran yang besar. Menurut Hermanto, BPK menemukan adanya kekurangan dalam kelengkapan dokumen administrasi. Kementan pun diberi kesempatan untuk melengkapinya.

"Ada temuan dari BPK terkait food estate. Yang menjadi concern itu yang food estate. Itu temuan kurang kelengkapan dokumen, administrasinya. Istilah di BPK itu bayar di muka dan itu belum menjadi TGR. Jadi itu ada kesempatan kita melengkapi dan menyelesaikan pekerjaan," ujar dia. 

Jaksa lebih lanjut mendalami alasan Kementan tetap mendapatkan WTP meski adanya temuan soal program food estate itu. "Kalau begitu kejadian apa saksi pernah bertemu dengan Pak Victor Daniel Siahaan, Toranda Saifullah? Apa yang disampaikan mereka kepada Kementan selaku yang diperiksa?," cecar jaksa.

"Pernah disampaikan konsep dari temuan-temuan itu bisa menjadi penyebab tidak bisanya WTP di Kementan," kata Hermanto. Jaksa KPK lalu mendalami apakah ada permintaan dari BPK terkait pemberian opini. 

Hermanto tak membantah adanya permintaan uang dari pihak BPK untuk menyuap sejumlah temuan agar pihaknya mendapat WTP. "Terkait hal tersebut bagaimana, apakah kemudian ada permintaan atau yang harus dilakukan Kementan agar menjadi WTP?," tanya jaksa.

"Ada, waktu itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp12 miliar untuk Kementan," ungkap Hermanto.

"Diminta Rp12 miliar oleh pemeriksa BPK itu?," cecar jaksa.

"Iya, Rp12 miliar oleh Pak Victor tadi," ujar Hermanto.

"Akhirnya apakah dipenuhi semua permintaan Rp 12 M itu atau hanya sebagian yang saksi tahu?," tanya Jaksa.

"Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi (Rp 12 miliar). Saya dengar mungkin ngga salah sekitar Rp 5 miliar atau berapa. Yang saya dengar-dengar," ujarnya.

Hermanto mengaku mendengar hal itu dari Muhammad Hatta. Itu dengar Hermanto dari Hatta setelah uang Rp5 miliar diserahkan.