BPK Tercoreng Korupsi Syahrul Yasin Limpo: 'Tawar-menawar WTP bukan barang baru'

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 12 Mei 2024 14:35 WIB
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (Foto: Dok MI)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 melakukan pemeriksaan keuangan negara sesuai amanat pasal 23 huruf e hingga huruf g dan pasal 23 ayat 5 UUD NRI Tahun 1945. 

Namun kelemahannya, menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Kurnia Zakaria, anggota BPK dipilih DPR sehingga ada dugaan bila ingin terpilih jadi anggota BPK ada deal-deal dengan partai politik. 

"Pasti dalam pemilihan anggota BPK baru ada mantan pejabat, ASN aktif, wakil partai politik. Tentu saja anggota BPK ini diminta balas budi oleh partai politik pendukung pejabat negara yang hasil laporan keuangan pemerintah pusat maupun pemda tiap tahunnya bermasalah," kata Kurnia kepada Monitorindonesia.com, Minggu (12/5/2024).

Dalam hal kasus Tipikor mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo atau SYL tentu saja jelas ada permasalahan karena ada pengeluaran APBN di luar dinas dan anggaran keuangan Kementan serta ada laporan ada iuran atau upeti para pejabat negara dari eselon satu hingga eselon dua kementerian juga kepala dinas pertanian pemda. 

Belum lagi pungli atau suap pengusaha pelaksanaan proyek kementan baik menggunakan APBN maupun APBD. 

"SYL tentu saja tidak merasa korupsi. Mungkin perilaku ini sudah biasa dilakukan SYL sejak menjadi Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2018,  Wakil Gubernur Sulawesi Selatan 2003-2008, Bupati Gowa periode 1994-2002," menurut Kurnia.

Dan tentu saja, tambah kriminolog itu, SYL meminta agar Auditor BPK minta laporan keuangan Kementerian Pertanian wajar tanpa pengecualian (WTP).

"Tentu saja permintaan ini tidak bisa dikabulkan kalau tanpa deal-deal suap dan gratifikasi. SYL merasa wajar minta laporan kementerian WTP karena prestasi penghargaan dari dalam dan luar negeri, tetapi nol".

Kurnia Zakaria
Kurnia Zakaria (Foto: Dok MI)

"Karena selalu impor beras, impor bawang, telur, cabe, sembako. Lahan pertanian makin berkurang di Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi," bebernya.

Tak dapat dipungkiri, tegas dia, dugaan pesan memesan opini WTP sudah sejak lama berhembus. Tidak hanya untuk kementerian atau lembaga di pusat, tapi juga untuk provinsi, kabupaten, kota di daerah-daerah. "Pesan memesan WTP itu bukan hal yang baru," katanya.

Dia menilai fakta persidangan dalam kasus SYL itu benar-benar mencoreng institusi BPK yang harusnya mampu mengawasi dan mengamankan keuangan negara. 

"Praktik curang seperti itu telah memanipulasi temuan yang sebenarnya harus diungkap ke publik," katanya.

Dalam hal kesejahteraan auditor BPK tinggi dan remunerasi juga tinggi tetap saja tidak menutupi auditor BPK yang hidupnya semakin heran. Menurut Kurnia, di sini ada simbiosis mutualisme antara auditor BPK dengan pejabat Kementerian maupun Pemda. 

Sehingga, kata dia, wajar Auditor BPK juga selalu terjebak dengan kebutuhan hidup mewah sedangkan di depan mata godaan materi maupun nonmateri sebagai hadiah balas budi. 

"Sehingga KPK dan Kepolisian maupun Kejaksaan harus bekerja sama periksa petugas Auditor yang diduga menerima suap atau gratifikasi, bukan lagi salam tempel ucapan terima kasih yang nilainya paling tidak 2-10% dari kerugian keuangan negara," tegasnya.

Kendati, tambah Kurnia, BPK juga seringkali tidak dipakai oleh aparat penegak hukum karena lebih suka menggunakan auditor BPKP, karena ada MoU khusus BPKP dengan Kepolisian dan Kejaksaan.

"Jadi KPK harus tindaklanjuti fakta persidangan untuk memeriksa dan menyidik Auditor BPK yang diduga menerima suap dan gratifikasi," tutup Kurnia Zakaria yang juga dosen Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta itu.

Fakta persidangan SYL
Adanya permintaan uang oleh oknum BPK untuk predikat WTP ini diungkap Sekretaris Direktur Jenderal (Sesdirjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Hermanto.

Dia dihadirkan sebagai saksi pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (8/5/2024).

Awalnya, Jaksa KPK Meyer Simanjuntak mengonfirmasi beberapa nama dari pihak BPK yang pernah mengaudit Kementan. Mulai dari Victor Daniel Siahaan selaku auditor dan Haerul Saleh selaku Auditor Keuangan Negara (AKN) 4 Haerul Saleh. Saksi Hermanto mengaku mengenalnya.

“Kemudian ada kronologis apa terkait dengan Pak Haerul, Pak Victor yang mana saksi alami sendiri saat itu, bagaimana bisa dijelaskan kronologisnya?” tanya jaksa. “Yang ada temuan dari BPK terkait food estate,” jawab Hermanto.

Jaksa pun heran, meski ada temuan, tapi Kementan menda­pat WTP. Jaksa pun meminta penjelasan Hermanto.

“Misal contoh satu, temuan food estate itu kan temuan isti­lahnya kurang kelengkapan dokumen ya, kelengkapan adminis­trasinya. Istilah di BPK itu BDD (Biaya Dibayar Dimuka), bayar di muka".

"Jadi, itu yang harus kita lengkapi, dan itu belum menjadi TGR (Tuntutan Ganti Rugi yang dapat memengaruhi opini lapo­ran keuangan). Artinya, ada kesempatan untuk kita melengkapi dan menyelesaikan pekerjaan itu,” jelas Hermanto.

Ia menjelaskan, kegiatan itu pada 2021 sebelum ia menjabat Sesdirjen PSP. Setelah menjabat Sesdirjen pada 2022, ia dihadap­kan temuan BPK tersebut.

Jaksa lantas meminta Hermanto menerangkan hasil temuan pihak BPK lewat Victor Siahaan dan Tornanda Syaefullah selaku Auditor Utama (Tortama) saat itu.

Hermanto mengemukakan, kedua orang BPK itu menyebut bahwa temuan itu bisa menjadi penyebab Kementan tak menda­pat opini WTP.

Atas dasar inilah ada permintaan Rp 12 miliar dari auditor BPK kepadanya. Hermanto pun dim­inta menyampaikan hal itu ke­pada Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

"Diminta Rp 12 miliar oleh pemeriksa BPK itu?” cecar jaksa.

“Iya, (diminta) Rp 12 miliar oleh Pak Victor tadi,” sebut Hermanto.

Hermanto menyampaikan permintaan ini kepada Sekjen Kementan Kasdi Subagyono. Kasdi mengajak Direktur Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) Muhammad Hatta memberitahu­kan ke Menteri.

Awalnya permintaan uang hanya Rp 10 miliar. Kemudian naik jadi Rp 12 miliar setelah ada pertemuan atau entry meeting para pejabat Kementan di kantor BPK. Pihak Kementan yang hadir di antaranya, Menteri Syahrul Yasin Limpo, Kasdi, Hatta, pejabat eselon 1 dan 2, termasuk Hermanto. Termasuk Dirjen PSP Ali Jamil.

“Itu dimintanya di BPK atau (saat) pemeriksaan di Kementan?” tanya jaksa.

“Saya nggak ingat di mana itu, tapi komunikasi lisan saja,” jawab Hermanto.

“Siapa aja yang mendengar waktu itu?” cecar jaksa.

“Pak Hatta juga ada, Pak Ali Jamil juga mendengar permintaan itu,” sebut Hermanto.

“Kemudian apa tanggapan dari Saksi, Pak Hatta, Ali Jamil mendengar permintaan itu. Apakah langsung mengiyakan per­mintaan itu?” kejar jaksa.

“Kita kaget saja, terkejut. Dari mana uangnya, karena kita nggak tahu selama ini,” ungkap Hermanto.

“Lalu bagaimana setelah itu Rp 10 miliar saja kaget. Lalu bisa naik Rp 12 miliar itu ba­gaimana?” sambung jaksa ber­tanya lagi.

"Ada pertemuan berikutnya di BPK. Pada saat itu dihadiri Pak Menteri, Sekjen semua. Selesai acara itu kita turun di lobby. Kemudian Pak Victor mengham­piri Pak Dirjen Ali Jamil dengan saya waktu itu, dia bilang itu ditambah jadi 12. Terus saya panggil Pak Hatta. ‘Pak Hatta ini minta nambah’, gitu ceritanya,” jelas Hermanto.

“Akhirnya apakah sepengeta­huan saksi dipenuhi semua per­mintaan Rp 12 M itu atau hanya sebagian atau bagaimana yang saksi tahu?” korek jaksa.

“Ndak, kita tidak penuhi. Yang saya dengar mungkin kalau ndak salah sekitar Rp 5 M atau berapa gitu. Yang saya dengar ya,” kata Hermanto.

Hermanto mengemukakan, kerap dikontak Victor soal kekurangan uang tersebut. “Masih menghubungi lagi dia (Victor)?” kata jaksa.

“Ya, ‘tolong sampaikan, to­long sampaikan’, begitu,” ujar Hermanto.

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Hermanto, predikat WTP atas laporan keuangan Kementan tahun 2022 akhirnya diserahkan AKN 4 Haerul Saleh kepada Mentan Syahrul Yasin Limpo di Balai Embrio Ternak di Cipelang, Bogor.

Rentang waktu penyerahan predikat WTPberjarak sekitar 1 atau 2 bulan sejak adanya permintaan uang Rp 12 miliar itu.

BPK janji tindak auditornya
BPK berjanji menindak auditor yang meminta uang Rp12 miliar untuk pemberian WTP kepada Kementan itu.

“Apabila ada kasus pelanggaran integritas, maka hal tersebut dilakukan oleh oknum yang akan diproses pelanggaran tersebut melalui sistem penegakan kode etik,” tegas BPK, Jum'at (10/5/2024).

BPK menghormati proses per­sidangan kasus perkara mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan mengedepankan asas praduga tak bersalah.

BPK juga mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, dan tidak mentolerir tin­dakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, kode etik, standar dan pedoman pemeriksaan.

Dalam upaya pencegahan ko­rupsi di lembaganya, BPK telah membangun sistem penanganan atas pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) dan program pengendalian gratifikasi. Hal ini untuk memitigasi risiko terjadinya pelanggaran kode etik jajaran BPK.

Kepala Biro Humas dan Kerjasama Internasional BPK Yudi Ramdan Budiman menolak berkomentar mengenai dugaan ok­num auditor meminta uang untuk memeriksa laporan keuangan Kementan pada 2022.

“Seperti yang dijelaskan dalam siaran pers, dengan mengedepankan asas tak bersalah, BPK memiliki langkah-lang­kah tindakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan,” katanya.

Apa kata KPK?
Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengusut keterangan saksi yang menyebut BPK minta uang Rp12 miliar untuk WTP itu. Semua keterangan saksi sidang kasus pemerasan dan penerimaan gratifikasi SYL bakal jadi perhatian jaksa KPK.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan banyak fakta menarik dalam persidangan terdakwa Syahrul Yasin limpo dan tentu semua faktanya sudah dicatat dengan baik oleh tim jaksa.

Jaksa penuntut akan menyusun laporan persidangan yang salah satu isinya soal permintaan Rp12 miliar dari BPK itu. “Sekali lagi nanti pengembangan lebih jauhnya adalah ketika proses-proses persidangan selesai secara utuh sehingga konfirmasi dari saksi-saki lain menjadi sebuah fakta hukum,” tegas Ali Fikri.

Pengusutan ini nantinya bisa dilakukan saat KPK mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang masih berjalan saat ini. Jadi sangat mungkin tim penyidik juga memanggil nama-nama orang yang kemudian muncul dalam proses persidangan menelusuri lebih jauh terkait aliran uang.

“Ketika ada proses penyidikan TPPU maupun di persidangan, penyidik akan memanggil siapa pun yang sudah disebutkan dalam persidangan, jaksa nanti akan mengonfirmasi lagi dalam proses persidangan dilakukan,” jelas Ali Fikri.

Senayan bicara
Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP, Johan Budi meyakini KPK tidak bakal tebang pilih dalam mengusut kasus korupsi. Sebagai mantan Jubir KPK, Johan meminta lembaga antirasuah membongkar seluruh pihak yang terlibat dalam kasus korupsi SYL. 

"Kita serahkan saja ke KPK. Saya yakin kalau bukti-buktinya kuat, KPK akan menindaklanjuti sebuah informasi terkait proses pengusutan kasus," ujar Johan.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad prihatin karena aksi jual beli status WTP sudah sering terjadi. Ia berharap ada evaluasi menyeluruh terhadap BPK, agar ladang korupsinya bisa diberangus. 

“Harus ada komitmen sungguh-sungguh dari seluruh stakeholder untuk hentikan indikasi jual-beli WTP, agar tidak terulang terus menerus,” katanya, Kamis (9/5/2024). 

Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi mengatakan, pengakuan Hermanto membuat setiap Kementerian/Lembaga yang mendapat status WTP patut diperiksa ulang. “Patut dicurigai status WTP-nya tidak gratis, seperti Kementan yang harus bayar Rp 12 miliar,” katanya. 

Selain itu, Uchok meminta KPK membuka penyidikan baru, karena ada nama anggota BPK bernama Victor dan Haerul Saleh yang disebut dalam sidang. Sekaligus mendalami dugaan korupsi di balik proyek food estate Kementan, dengan modal temuan BPK.  “Dugaan pemerasan dan gratifikasi dalam proyek food estate ini yang harus diungkap,” tutupnya. (wan)

Topik:

WTP Kementan BPK SYL