BPK Menang Banyak: 'Malak' hingga 'Nyayur' di Proyek Strategis Nasional

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 15 Mei 2024 07:31 WIB
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI (Foto: Dok MI/Aswan)
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI (Foto: Dok MI/Aswan)
Jakarta, MI - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI 'menang banyak' di proyek strategis nasional (PSN) yakni pada proyek food estate Kementerian Pertanian (Kementan) dan proyek pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II alias Tol MBZ tahun 2016-2017 yang digarap Waskita Karya (WSKT) milik Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pada proyek food estate, sebagaimana terungkap di persidangan, bahwa oknum auditor BPK RI Victor dan Haerul Saleh disebut meminta Rp 12 miliar. Namun hanya Rp5 miliar yang diberikan. 

Uang Rp 5 miliar itu diberikan kepada auditor BPK usai Kementan mendapat uang dari vendor, hingga kemudian Kementan diberikan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK yang sebelumnya terganjal temuan pada proyek food estate itu.

Sementara pada proyek Tol Japek II itu, Direktur Operasional Waskita Beton Precast Sugiharto mengakui, dirinya pernah menyiapkan uang sebesar Rp 10 miliar untuk memenuhi permintaan dari BPK RI, juga terungkap di persidangan.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai praktik-praktik tersebut sudah menjadi kebiasaan, karena biasanya masing-masing instansi sudah menganggarkan untuk itu alias 'uang pelicin'.

"Itu bukan barang baru, sudah lama terjadi dan patut diduga itu terjadi. Karena di BPK banyak politisi," kata Agus saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Selasa (14/5/2024).

Agus mengatakan dugaan permintaan uang itu menandakan transaksi gelap di lingkup kementerian belum bisa diberhentikan. "KPK berani nggak ini dituntaskan. Semua sudah disebut oleh saksi ya sudah lakukan pemeriksaan, itu hakim berani nggak? Kalau nggak ya, sudah parah dan mau diapain lagi," bebernya.

BPK palak Kementan
Dua direktur jenderal (dirjen) di Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkap adanya petugas BPK RI 'memalak' miliaran rupiah sebagai pelicin untuk meloloskan Laporan Keuangan Kementerian Pertanian agar mendapatkan. 

Hal itu terungkap di fakta persidangan kasus korupsi dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo atau SYL hari ini, Senin (13/5/2024). 

Pengakuan mengejutkan terkait petugas BPK yang meminta uang pelicin untuk mendapatkan opini WTP itu diungkap oleh Dirjen Prasaran dan Sarana (PSP) Ali Jamil Harahap dan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Nasrullah yang dihadirkan sebagai saksi pada persidangan.

Dirjen PSP Kementan Ali Jamil mengakui pernah mendengar adanya permintaan uang di direktorat yang ia pimpin pada 2023 usai pertemuan antara pimpinan Kementan dan Anggota IV BPK. 

Kala itu, sepulangnya dari pertemuan dengan pihak BPK, SYL yang saat itu masih menjadi menteri lalu menugaskan Sekjen Kasdi Subagyono untuk memberikan atensi kepada hasil pertemuan antara Kementan dan BPK.

Ia mengaku adanya permintaan uang ke Ditjen PSP untuk keperluan petugas BPK tersebut sebagai uang pelicin alias suap. "Kami mendengar dari Sesditjen kami bahwa salah seseorang dari auditor BPK itu menyampaikan bahwa perlu harus disampaikan, mohon disampaikan kepada pimpinan untuk anggaran," ujar Ali di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (13/5/2024). 

"Minta duit?," tegas Hakim Anggota Fahzal Hendri. 

"Seperti itu, Yang Mulia," jawab Ali. 

"Berapa diminta?" tanya Fahzal. 

"Saat itu kami mendegar infonya Rp10 miliar," ucap Ali.

Mantan Kepala Badan Karantina Pertanian Kementan itu lalu mengungkap petugas auditor BPK meminta tambahan uang sebesar Rp2 miliar di luar Rp10 miliar yang sudah disampaikan sebelumnya.  Permintaan tambahan uang Rp2 miliar itu disampaikan lagi usai pertemuan lain antara BPK dan Kementan. 

"Tambahan Rp2 miliar, jadi Rp12 miliar," ungkap Ali. 

"Untuk apa itu?," tanya Hakim Fahzal. 

"Kalau cerita awalnya ini temuan-temuan jangan sampai nanti menghambat tercapainya WTP. Jadi memang supaya diselesaikan temuan itu," ujar Ali. 

Ali sempat menyampaikan dirinya menolak arahan dari pimpinan Kementan untuk membayarkan uang tersebut. Urusan WTP Kementan bukan tanggung jawab Ditjen PSP Kementan. 

Singkat cerita, Ali mengungkap bahwa Sesditjen PSP Hermanto, yang sebelumnya juga sudah dihadirkan di sidang SYL, menyampaikan kepadanya bahwa uang sebesar Rp3,5 miliar sudah dibayarkan untuk permintaan oknum BPK tersebut.  

Ali memastikan uang itu bukan dari anggaran Kementan, melainkan bersumber dari pinjaman ke vendor Kementan. 

Senada dengan Ali, Dirjen PKH Kementan Nasrullah juga mengonfirmasi adanya permintaan dari petugas BPK uang pelicin untuk meloloskan WTP. Namun, Nasrullah mengatakan tidak merealisasikan permintaan tersebut.  "Ternyata ada permintaan sejumlah uang, tetapi sampai hari ini kami tidak merealisasikannya," kata Nasrullah kepada JPU. 

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Nasrullah yang dibacakan kembali oleh JPU, permintaan uang dari Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta untuk petugas BPK kepada Ditjen PKH yakni Rp2 miliar. 

"Makmun [Sesditjen PKH] menyampaikan kepada saya di ruangan saya bahwa ada permintaan iuran untuk BPK RI yang diminta oleh Kasdi Subagyono dan Muhammad Hatta untuk Ditjen PKH Kementan dibebankan sebesar Rp2 miliar," demikian bunyi BAP Nasrullah yang dibacakan kembali JPU.

Jaksa KPK mendakwa SYL, Kasdi dan Hatta melakukan pemerasan terhadap pejabat dan direktorat di Kementan. Mereka didakwa menikmati uang hasil pemerasan sebesar Rp44,54 miliar selama periode 2020-2023. Ketiganya juga didakwa menerima gratifikasi mencapai Rp40,64 miliar pada periode yang sama.

BPK 'nyayur' di proyek Tol Japek II
BPK RI disebut-sebut "nyayur" di proyek pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II Elevated atau Jalan Layang alias Tol MBZ (Mohammed bin Zayed).

Hal itu diungkapkan saksi yang merupakan pejabat perusahaan negara, PT Waskita Karya, Sugiharto.

Sugiharto yang merupakan eks Supervisor (SPV) PT Waskita Karya memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan kasus korupsi pembangunan Tol MBZ di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).

Dia memberikan keterangan atas empat terdakwa: eks Direktur Utama PT Jasa Marga Jalan Layang Cikampek (JJC), Djoko Dwijono; Ketua Panitia Lelang pada JJC, Yudhi Mahyudin; Tenaga Ahli Jembatan pada PT LAPI Ganeshatama Consulting, Tony Budanto Sihite; dan Sofiah Balfas selaku eks Direktur PT Bukaka Teknik Utama.

Menurut Sugiharto, nilai uang yang diberikan kepada BPK terkait proyek Jalan Tol MBZ ini mencapai Rp 10,5 miliar. Dia diperintahkan atasannya, Bambang Rianto yang saat itu menjabat Direktur Operasional Waskita Karya untuk menyediakan uang tersebut.

"Saya pada saat itu diinstruksikan oleh Direktur Operasional saya, Pak Bambang, 'Tolong disediakan dana di Japek ini untuk keperluan ke BPK 10 milaran lah pak,'" cerita Sugiharto dalam persidangan.

Untuk memenuhi permintaan itu, Sugiharto mengaku terpaksa membuat proyek fiktif. Proyek fiktif yang dimaksud berupa patching atau penambalan pada Jalan Tol MBZ pada tahun 2021.

"Ya pekerjaan fiktifnya itu saya karena sudah selesai 100 persen pak, pemeliharaan, hanya patching0patching saja buat saya pak," kata Sugiharto.

Diungkapnya, atasannya itu tidak mau tahu cara dirinya memenuhi uang pelicin Rp10,5 miliar permintaan BPK itu. Atasannya hanya ingin bisa segera tersedia uang Rp 10,5 miliar untuk keperluan BPK.

"Atasan saudara langsung siapa? Pak Dir?" tanya jaksa penuntut umum.

"Pak Dir Operasional," jawab Sugiharto.

"Tahu juga keputusan saudara?" tanya jaksa lagi.

"Kalau Pak Bambang ya tahunya yang penting ada untuk keperluan 10 miliar."

Dalam perkara ini jaksa penuntut umum telah mendakwa para terdakwa atas perbuatan mereka yang berkongkalikong terkait pemenangan KSO Waskita Acset dalam Lelang Jasa Konstruksi Pembangunan Jalan Tol Jakarta–Cikampek II elevated STA.9+500 – STA.47+000.

Kemudian terdakwa Djoko Dwijono yang saat itu menjabat Direktur Utama PT Jasa Marga, mengarahkan pemenang lelang pekerjaan Steel Box Girder pada perusahaan tertentu yaitu PT Bukaka Teknik Utama.

"Dengan cara mencantumkan kriteria Struktur Jembatan Girder Komposit Bukaka pada dokumen Spesifikasi Khusus yang kemudian dokumen tersebut ditetapkan Djoko Dwijono sebagai Dokumen Lelang Pembangunan Jalan Tol Jakarta–Cikampek II elevated STA.9+500 –  STA.47+000," kata jaksa penuntut umum dalam dakwaannya.

Akibat perbuatan para terdakwa, jaksa mengungkapkan bahwa negara merugikan negara hingga Rp 510.085.261.485,41 (lima ratus sepuluh miliar lebih).

Selain itu, perbuatan para terdakwa juga dianggap menguntungkan KSO Waskita Acset dan KSO Bukaka-Krakatau Steel.

"Menguntungkan KSO Waskita Acset sejumlah Rp 367.335.518.789,41 dan KSO Bukaka Krakatau Steel sebesar Rp 142.749.742.696,00" kata jaksa.

Mereka kemudian dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.