Bonus Demografi sebagai Berkah Keberlanjutan Program Jokowi ke Prabowo-Gibran

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 Juni 2024 19:32 WIB
Andre Vincent Wenas (Foto: Dok MI)
Andre Vincent Wenas (Foto: Dok MI)

APA sih yang dimaksud dengan bonus demografi? Ini istilah yang kerap didengungkan namun apakah dipahami juga arti, syarat dan konsekuensi dibalik “buzz-word” itu?

Coba kita tilik sebentar piramida penduduk Indonesia. Itu yang gambarnya disebut dengan piramida tapi buat kita kelihatannya kok lebih mirip seperti gapura candi Prambanan. 

Sekarang bentuknya masih gendut di bagian bawah gapura. Itu menggambarkan bahwa realitas demografi kita banyak balita dan anak SD, SMP, SMA dan kuliahan. Kita sederhanakan saja istilahnya supaya tidak rumit. Artinya gapura kependudukan lebih banyak yang masih tergantung pada generasi di tengah dan atas (generasi baby-boomers). 

Tapi nanti, mulai tahun 2030 sampai 2050 bentuknya mulai gendut di bagian tengah. Itu artinya, penduduk Indonesia yang berusia produktif, mulai umur 20 sampai 65 tahun jumlahnya lebih banyak dibanding balita dan anak SD, SMP, SMA dan anak kuliahan. 

Lalu apa yang dimaksud dengan produktif di sini? Artinya merekalah yang nantinya berkontribusi besar pada Produktivitas Nasional Bruto (PNB) lewat karya dan inovasi mereka. Pendeknya lewat kerja keras mereka. 

Waktunya sudah sangat mendesak. Sudah mepet! Sampai 2045 artinya tinggal 20 tahun saja. Artinya pula anak-anak balita sekarang harus kita siapkan jadi generasi yang mampu menyerap pengetahuan (adoptif) serta bersikap adaptif terhadap perubahan dan tantangan jamannya. Tidak boleh ada stunting. Tidak boleh telmi.

Karena itu generasi ini haruslah generasi yang asupan gizinya dan jaminan kesehatan serta pendidikannya cukup. Itu syarat penting agar “bonus demografi” benar-benar bisa berkontribusi positif terhadap produktivitas nasional. Dan tidak malah jadi bencana demografi (demographic disaster) lantaran jadi beban (liability) terhadap PNB. 

Disinilah mendesaknya program makanan bergizi gratis bagi anak-anak itu serta ibu-ibu hamil. Karena pembangunan manusia Indonesia ini dimulai sejak masih dalam kandungan ibu. Dan pendidikan yang membebaskan ala Paulo Freire. 

Soal kembaran dari pembangunan ekonomi adalah pemerataan ekonomi. Azas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima Pancasila) yang harus berjalan parallel dengan kemakmuran. Pembangunan dan pemerataan adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. 

Pusat dari semua program pembangunan adalah manusianya. Orang adalah sentral. Sekedar gambaran besar demografis Indonesia, kondisi sekarang sekitar 279 juta jumlahnya. Sebanyak 158 juta orang atau 56,5% tinggal di Pulau Jawa. Minta ampun padatnya, apalagi di Kawasan Jabodetabek. 

Sebaran lainnya, 60,5 juta orang atau 21,7% ada di Pulau Sumatera. Sekitar 20,3 juta orang atau 7,3% di Pulau Sulawesi dan 16,7 juta orang atau 6,0% di Pulau Kalimantan. Selanjutnya sekitar 13,9 juta orang atau 5,5% di Pulau Bali dan Nusa Tenggara. Dan cuma 7,5 juta orang atau 2,7% bermukim di Pulau Maluku dan Papua. 

Sketsa statistik kependudukan diatas menggambarkan betapa tidak meratanya sebaran penduduk di Indonesia. Ini secara ekonomi berdampak pada konsentrasi program pembangunan yang selama ini Java Sentris. Sedangkan wilayah lain boleh dibilang tertinggal kalau bukan terbengkalai. Gampangannya begitu.

Secara logika ekonomi bisa dipahami, karena memang ekonomi atau “oikos-nomos” adalah ilmu tentang urusan rumah tangga yang dilakoni oleh orang. Asumsinya, semakin banyak jumlah orangnya maka semakin semakin tinggi intensitas kegiatan ekonominya. Logis, secara ekonomi. 

Tapi apakah “Keberlanjutan Pembangunan” itu semata-mata hanya mempertimbangkan aspek keekonomian? Tentu tidak. Seperti telah ditunjukkan oleh Jokowi selama ia memimpin juga mengedepankan pemerataan pembangunan di seluruh Nusantara. 

Di era kepemimpinannyalah realisasi pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia sungguh terasa. Selesainya puluhan bendungan-bendungan yang menunjang pertanian serta pengendalian banjir, lalu pembangunan jalan (termasuk jalan tol) yang meretas daerah-daerah yang selama ini terisolasi, modernisasi perkeretaapian, pelabuhan laut dan udara yang semuanya melancarkan interkonektivitas dalam rangka mengefisienkan ekonomi. Sampai restorasi pos-pos perbatasan yang bikin kita jadi bangga. 

Akhirnya, seperti tertera dalam program kerja Asta-Cita Prabowo-Gibran, terkhusus bagian keenam “Membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan”, pada poin empat belas tertera dengan jelas: Melanjutkan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru secara berkelanjutan. 

IKN ini bukan lagi wacana, tapi “on-going project” untuk pemerataan pembangunan, sekaligus menjawab ancaman ekologis kota Jakarta yang sudah sering kita dengan penjelasannya dari banyak ahli. 

Tahun 2045 kita telah mendeklarasikan sebagai tahun Indonesia Emas, jangan buang-buang waktu lagi. Waktunya sudah semakin dekat. Tanggal 17 Agustus 2024 nanti, upacara memperingati hari kemerdekaan juga akan diselenggarakan di Ibu Kota Nusantara. 

[Andre Vincent Wenas - Pemerhati Ekonomi dan Politik]