Program Makan Siang Gratis, Empat Sehat Lima Sempurna Masih Relevan Kah?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Februari 2024 14:01 WIB
Guru membagikan makanan sehat yang kepada siswa di TK Islam Alam Nusantara, Cinunuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Guru membagikan makanan sehat yang kepada siswa di TK Islam Alam Nusantara, Cinunuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Jakarta, MI - Program makan siang gratis yang diusung oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming ditargetkan akan masuk ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Akan tetapi, program yang menyasar 80 juta penerima ini menuai kontroversi dan kritik dari berbagai sisi kebijakan. 

Program ini pun ikut dibahas dalam Sidang Kabinet Paripurna yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada hari ini, Senin (26/2).

Budiman Sudjatmiko Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Gibran, baru-baru ini mengatakan bahwa program makan siang gratis ini mengacu pada komposisi ‘Empat Sehat Lima Sempurna’ yang dicetuskan sejak tahun 1952.

Padahal, menurut Kepala Riset dan Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda, konsep ‘Empat Sehat Lima Sempurna’ sudah “tidak relevan” karena menekankan pada konsumsi nasi, lauk, sayur, buah, dan menempatkan susu sebagai penyempurna.

Kementerian Kesehatan sudah lama mengubah konsep itu menjadi pedoman gizi seimbang, yakni dengan mengonsumsi makanan yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah sesuai dengan kebutuhan tubuh.

“Itu sudah tidak relevan lagi, terutama soal susu yang masih dianggap sebagai penyempurna. Di pedoman yang sekarang digunakan, susu dianggap bisa tergantikan dengan protein lain,” kata Olivia, dikutip pada Senin (26/2).

CISDI juga khawatir program ini akan berakhir menjadi ajang penyaluran produk kemasan dan pangan olahan tanpa mempertimbangkan kebutuhan gizi dan kadar nutrisi dalam makanan.

“Termasuk bila akan menjadi ajang memberikan susu kemasan dalam program ini. Susu tidak menjadi keharusan dalam diet masyarakat Indonesia yang mayoritas lactose intolerant, juga tingginya kandungan gula dalam mayoritas produk susu kemasan yang ada di Indonesia,” papar Olivia.

Pada akhirnya, CISDI menyatakan “tak sepakat” jika program makan siang gratis ini menjadi prioritas pemerintahan selanjutnya untuk meningkatkan kualitas SDM seperti yang diharapkan.

Pelaksanaan program ini dipandang sangat kompleks dan "rawan korupsi". Padahal belum tentu juga dapat menyentuh akar masalah yang ingin dituntaskan.

"Isu gizi itu kompleks dan membutuhkan penyelesaian lintas sektor untuk memastikan pemenuhannya dapat berjalan secara mandiri dan berkelanjutan, mulai dari isu kemiskinan, pendidikan, sanitasi, dan kedaulatan pangan," kata Olivia.