Siapa di Balik 'Obral WTP' dari Kasus Syahrul Yasin Limpo? Ahli TPPU Beber Hal Ini

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 13 Mei 2024 21:58 WIB
Ahli Hukum TPPU, Yenti Garnasih (Foto: Dok MI/Pribadi)
Ahli Hukum TPPU, Yenti Garnasih (Foto: Dok MI/Pribadi)

Jakarta, MI - Praktik jual-beli opini wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan kementerian dan lembaga pemerintahan masih saja terjadi. Terungkapnya dugaan tawar-menawar demi mendapatkan WTP untuk Kementerian Pertanian (Kementan) membuktikan hal itu.

Bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan opini WTP kepada Kementerian Pertanian pada era Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Sementara Kementan diketahui mendapatkan opini WTP dari BPK selama 7 kali beruntun, yakni mulai dari 2016 hingga 2022.

Sebagaimana kesaksian Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementan, Hermanto, saat dihadirkan sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang, Rabu (8/5/2024) lalu, bahwa Kementaan harus merogoh kocek Rp 5 Miliar sebagai uang pelicin untuk menyogok oknum auditor BPK.

Awalnya, dugaan permintaan uang itu sebanyak Rp 12 miliar dari auditor BPK kepada Kementan untuk mendapatkan status opini WTP yang terganjal akibat temuan pada proyek “food estate”.

Pegiat anti korupsi yang juga ahli hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU), Yenti Garnasih menduga "jangan-jangan, ini fenomena gunung es".

Pasalnya, kata dia, tentang oknum Auditor BPK yang terjerat korupsi bukan hanya sekarang. "Kalau kita cermati surat dakwaan SYL, secara logis tidak mungkin WTP, apalagi kejanggalan penggunaan anggaran kementerian, kacau balau seperti itu," kata Yenti saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Senin (13/5/2024) malam.

"Tinggal sekarang didalami oknum BPK yang jual beli predikat WTP dan kalau ada transaksi yang mencurigakan seharusnya PPATK mendalami," tegasnya menambahkan.

Monitorindonesia.com telah meminta tanggapan hal itu kepada Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, namun belum memberikan jawaban.

Masih dalam perbincangan dengan Monitorindonesia.com, Yenti mengaku heran dengan dugaan pesan memesan WTP itu. "Saya sudah tidak tahu lagi harus bicara apa. Mereka itu kan juga harus LHKPN, transaksi yang mencurigakan dan transaksi 500 juta keatas harus otomatis dilaporkan penyedia jasa keuangan, ke PPATK," jelasnya.

Maka Yenti menuntut adanya pemeriksaan terhadap setiap direktorat jenderal di Kementan. "BPK sebagai auditor ekternal Kementerian seharusnya mengawasi, atau bahkan Irjen Kementerian".

"Ya inilah yang terjadi pengawas tidak bisa melakukan tugas dan fungsinya, BPK malah minta Rp 12 miliar dan deal Rp 5 miliar. Kalau ini terbukti ya sudah tidak ada lagi kepercayaan kita pada semua lembaga dan kementerian yang dapat predikat WTP," tambahnya.

Yenti pun menilai wajar jika masyarakat bertanya-tanya apakah masih ada penegak hukum yang jujur saat ini, jika praktik-praktik seperti itu acap kali terjadi.

"Saya sudah bingung jawabnya, terjadi lagi, terjadi lagi, pengawaslah, pejabat Kementerian, PPATK, penegak hukum yang sering membuat masyarakat bertanya-tanya. Masih adakah yang jujur, siapa yang masih on the track," katanya. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui bakal mengusut dugaan permintaan uang sebanyak Rp 12 miliar untuk WTP itu. Jika itu benar adanya, penyidikan ini mesti berlanjut. Bahkan, tegas Yenti, bisa menjadi kasus baru. SYL juga bakal terseret lagi.

“Bagaimana mungkin bisa WTP ternyata penggunaan anggaran seperti itu. Berarti ya memang percuma ada Dirjen, ada BPK. Pengawas internal dan external tidak jalan. Baru terungkap karena ada yang lapor KPK,” ungkap Yenti.

Yenti juga berharap kepada KPK agar melakukan pemeriksaan yang merata dan jangan tebang pilih. "Karena bisa saja oknum BPK terpedaya atau sebaliknya," tutupnya.

Siapa oknum Auditor BPK itu?
Dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi di Kementan dengan agenda pemeriksaan saksi, yakni Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Hermanto, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (8/5/2024), diduga ada permintaan uang dari auditor BPK ke Kementan untuk laporan tahun 2022.

Agar Kementan mendapatkan opini WTP, auditor BPK bernama Viktor Siahaan meminta uang sebesar Rp 10 miliar yang merupakan bawahan dari auditor bernama Haerul Saleh. Pada kesempatan lain, Viktor mengubah permintaannya menjadi Rp 12 miliar.

Menurut Hermanto, Viktor menyampaikan kepadanya agar permintaan uang itu disampaikan kepada pejabat di Kementan. Hermanto mengaku merekomendasikan agar mengomunikasikan dengan Muhammad Hatta, sebagai Direktur Alat dan Mesin Pertanian, yang diketahui mengurus hal-hal di luar anggaran.

Selanjutnya, Hermanto mendengar permintaan auditor BPK itu hanya dipenuhi sebesar Rp 5 miliar. Sumbernya, dari vendor yang melaksanakan pekerjaan di Kementan. Namun, Hermanto mengaku tidak mengetahui nama vendor tersebut.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, oknum auditor BPK, Viktor, belum pernah diperiksa dalam penyidikan perkara dugaan korupsi di Kementan karena fakta tersebut baru terungkap di persidangan. 

Tim penyidik KPK sangat mungkin memanggil nama-nama yang muncul dalam persidangan untuk menelusuri lebih jauh terkait aliran uang korupsi di Kementan.

Ali memastikan, fakta-fakta yang ada di persidangan dicatat oleh tim jaksa. Tim jaksa akan menyusun laporan persidangan atau laporan perkembangan penuntutan dan menyampaikannya ketika semua proses persidangan selesai. 

Laporan itu menjadi dasar pengembangan perkara berdasarkan fakta-fakta yang muncul di dalam persidangan.

Topik:

BPK WTP Kementan SYL