Memburu Aktor Utama Kasus Gagal Ginjal Akut

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Januari 2024 18:05 WIB
Polisi melakukan proses penyidikan kasus gagal ginjal akut pada anak (Foto: Istimewa)
Polisi melakukan proses penyidikan kasus gagal ginjal akut pada anak (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Biang kerok kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) yang menyerang anak-anak diduga kandungan zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam obat sirup anak-anak. 

Berdasarkan perkembangan kasus ini, pihak kepolisian tengah membidik aktor utama kasus gagal ginjal akut. Selain produsen atau perusahaan farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) patut dianggap lalai mengawasi bahan baku obat sirop hingga diterbitkannya nomor izin edar. 

Pasalnya, Bareskrim telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik). Ini artinya bahwa, tersangka baru segera terungkap. Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Nunung Syaifuddin mengungkapkan, pihaknya saat ini masih terus mengusut keterlibatan BPOM.  

"Sudah proses sidik (penyidikan) kalau itu," ujar Nunung saat ditemui di Menara Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (18/12). 

Dirtipidter Bareskrim Polri Brigjen Nunung Syaifuddin (kemeja putih) saat ditemui di Menara Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (18/12/2023).

Namun, terkait apa dugaan pidana yang ditemukan polisi, Nunung enggan membeberkannya. Dia juga tidak menyebut secara pasti berapa jumlah saksi yang sudah diperiksa sejauh ini dalam proses penyidikan BPOM. "Sudah ada beberapa saksi yang kita periksa. Kita tunggu saja (tanggal) main," tukasnya.

Diketahui, kasus gagal ginjal akut pada anak mengalami lonjakan pada Agustus hingga Oktober 2022. Kasus ini diduga berkaitan dengan tingginya cemaran dari pelarut obat sirup yang menyebabkan pembentukan kristal tajam di dalam ginjal.

Dalam perkembangannya, setidaknya per 5 Februari 2023, sudah terdapat 326 kasus gagal ginjal anak dan satu suspek yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Dari kasus tersebut, saat itu dilaporkan total 204 anak meninggal dunia.

Sisanya sembuh, tetapi dilaporkan masih terdapat sejumlah pasien yang masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta pada awal 2023.

Siapa Aktor Utamanya?

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menegaskan bahwa, jika atas nama kemanusiaan seharusnya kasus ini diusut tuntas hingga menemukan aktor utamanya. "Ya semua harus diminta dipertanggungjawaban hukum bila ada kesalahan prosedur," tegas Pandu Riono saat dihubungi Monitorindonesia.com, Kamis (28/12) lalu.

Epidemiolog UI, Pandu Riono. Foto: Dok. Pribadi

Selain itu, Pandu menilai bahwa kasus gagal ginjal akut yang kembali terdeteksi itu menunjukkan bahwa masih terdapat oknum yang memproduksi obat sirup dengan kandungan EG, dan DEG melebihi ambang batas aman. Dia juga menduga bahwa oknum produsen tersebut memiliki modus kepentingan ekonomi, yaitu dengan mengakali bahan baku dengan harga murah.

"Harusnya menggunakan Propilen Glikol (PG). Supaya menekan harga, dia pakai EG/DEG yang lebih murah dan itu toksik, kalau bikin orang mati itu namanya kriminal," tegasnya pada beberapa waktu lalu dikesempatan yang berbeda.

Penegasan Pandu Riono ini senanda dengan kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria. "Siapa saja yang turut andil dalam kasus ini, dapat segera ditersangkakan," tegas Kurnia. 

Efek Domino Putusan MK Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Daerah - Monitor  Indonesia

Diketahui, Bareskrim telah menetapkan empat orang tersangka, adalah Endis (E) alias Pidit (PD) selaku Direktur Utama CV Samudera Chemical dan Andri Rukmana (AR) selaku Direktur CV Samudera Chemical, Direktur Utama CV Anugrah Perdana Gemilang (APG), Alvio Ignasio Gustan (AIG) dan Direktur CV APG, Aris Sanjaya (AS). 

Kemudian, lima korporasi tersangka adalah PT Afi Farma, CV Samudera Chemical, PT Tirta Buana Kemindo, CV Anugrah Perdana Gemilang, serta PT Fari Jaya Pratama. 

Kelima korporasi itu dinilai telah memproduksi obat sirup yang mengandung cemaran berbahaya, hingga menyebabkan ratusan anak di Indonesia menderita gagal ginjal akut. Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebelumnya juga telah menetapkan dua perusahaan sebagai tersangka yaitu PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.

Fakta Persidangan "BPOM Beri izin Edar Tanpa Proses Uji Kandungan"

Pengadilan Negeri Kediri pada 2 November 2023 lalu telah menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara kepada empat terdakwa kasus keracunan obat. 

Keempatnya adalah Direktur PT Afifarma Arief Prasetya Harahap, Manajer Quality Control PT Afifarma Nony Satua Anugrah, Manajer Quality Assurance PT Afifarma Aynarwati Suwito, dan Manajer Produksi PT Afifarma Istikhomah. Vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 7-9 tahun kurungan penjara.

Sementara itu, menurut amar putusan Pengadilan Negeri Kediri (Nomor 99/Pid.Sus/2023/PN Kdr) produk parasetamol sirop PT Afifarma terbukti mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas aman. Cemaran EG dan DEG dianggap sangat membahayakan bila lebih dari 0,1 persen.

Bahan baku yang seharusnya aman digunakan sebagai pelarut adalah propylene glycol (PG). Adapun EG dan DEG sejatinya tidak digunakan untuk industri farmasi. 

Keduanya merupakan zat antibeku yang digunakan untuk radiator dan pelarut plastik sehingga, apabila masuk ke dalam tubuh, ginjal tidak akan mampu untuk menetralkannya.

PT Afifarma memperoleh bahan baku PG (yang ternyata palsu dan berisi cemaran EG serta DEG) dari PT Tirta Buana Kemindo. Tirta Buana Kemindo terbukti tidak pernah melakukan uji kandungan bahan yang dijualbelikan. Adapun laboratorium uji di perusahaan tersebut sudah lama tidak berfungsi atau digunakan. 

Kemindo menjalin hubungan kerja sama dengan 98 perusahaan, yakni 49 perusahaan sebagai pelanggan, salah satunya Afifarma, dan 49 perusahaan sebagai pemasok/supplier.

PT Afifarma juga terbukti tidak melakukan pengujian bahan baku terkait cemaran EG dan DEG. Padahal pengujian terhadap cemaran EG dan DEG wajib dilakukan sebagai syarat memperoleh izin edar. 

Apabila suatu industri farmasi tidak melakukan pengujian cemaran EG dan DEG, industri farmasi tersebut tidak memenuhi standar Farmakope Indonesia.

Sementara, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/626/2020 telah ditetapkan bahwa Farmakope Indonesia Edisi VI (berlaku sejak 1 September 2020) adalah sebagai standar yang harus dipenuhi dalam produksi obat dan bahan baku obat. 

Sejak Farmakope Indonesia Edisi VI mulai berlaku, mulai Oktober 2020 sampai Juli 2022 PT Afifarma tidak pernah melakukan pengujian terhadap cemaran EG dan DEG pada propylene glycol (PG). Meskipun tidak pernah melakukan pengujian propilen glikol, PT Afifarma menyatakan produknya terbebas dari EG dan DEG berdasarkan CoA (certificate of analysis) yang dikeluarkan oleh manufaktur (yang sejatinya juga tidak pernah melakukan pengujian).

BPOM juga terbukti memberikan izin edar kepada produk Afifarma walaupun tanpa melalui proses uji kandungan. BPOM tidak mengeluarkan surat yang menyatakan analisis yang dilakukan oleh PT Afifarma yang hanya mendasarkan pada CoA (certificate of analysis) tidak memenuhi syarat atau tidak cakap lagi. 

Pada CoA tersebut tercantum nilai cemaran EG dan DEG adalah sebesar 0,1 persen sehingga dianggap masih memenuhi ambang batas Farmakope VI Indonesia.

PT Afifarma berdalih masih memenuhi standar Farmakope Indonesia edisi sebelumnya, yaitu Edisi V, yang sudah tidak berlaku. Dengan itu, untuk memperoleh izin edar, mereka hanya melampirkan CoA yang menyatakan kandungan PG aman dari cemaran EG dan DEG.

Sialnya, BPOM justru memberikan surat persetujuan terhadap pengajuan yang dilakukan oleh PT Afifarma dengan hanya mengunggah protap yang mengacu pada Farmakope Indonesia Edisi V dan mengunggah CoA manufaktur. Adapun di aturan Farmakope Indonesia Edisi VI, produsen industri farmasi seperti PT Afifarma diwajibkan melakukan uji kandungan bahan baku secara langsung.

Sebagai catatan, bahwa BPOM sebagai lembaga yang diberikan mandat UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden (Perpres) No.80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan harus menjelaskan ke publik soal pertimbangan menerbitkan izin edar sirop paracetamol serta obat sirop lainnya yang mengandung etilen glikol berdasarkan hasil temuan Kemenkes.

Investigasi BPKN  

Tim Pencari Fakta (TPF) Badan Perlindungan Konsumen Nasional atau BPKN telah menyelesaikan investigasi kasus gagal ginjal akut dan menghasilkan 8 temuan serta 4 rekomendasi. 

Hasil rekomendasi akan disampaikan kepada Presiden untuk ditindaklanjuti.

Temuan: 

1. Ketidakharmonisan komunikasi dan koordinasi antar instansi di sektor kesehatan dan farmasi dalam penanganan lonjakan kasus GGAPA 

2. Ada kelalaian otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran obat. BPKN menyimpulkan ada kelalaian instansi dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk obat 

3. Penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada industri farmasi tidak transparan. BPKN menilai ada ketidakadilan karena ada korporasi yang sudah jadi tersangka dan belum 

4. Tidak ada protokoler khusus penanganan krisis terkait persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus GGAPA 

5. Belum ada kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah

6. Belum ada pemberian ganti rugi kepada korban GGAPA dari pihak industri farmasi. BPKN menyebut pihak industri farmasi belum ada tanda-tanda memberikan ganti rugi terhadap korban GGAPA 

7. Bahan kimia EG dan DEG merupakan termasuk kategori berbahaya bagi kesehatan 

8. Belum dilibatkan instansi lembaga perlindungan konsumen dalam permasalahan sektor kesehatan karena korbannya konsumen

Klaim BPOM

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) saat itu adalah Penny K. Lukito.

Penny mengklaim, bahwa pihaknya sudah bekerja sebaik-baiknya dalam kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury atau AKI). 

Padahal, zat murni tersebut mutlak tidak boleh digunakan sebagai bahan baku obat. "BPOM sudah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan standar yang berlaku," kata Penny dalam konferensi pers di Gedung BPOM, Jakarta Pusat, Senin (26/12).

Penny mengungkapkan, BPOM sudah menyampaikan celah-celah pengawasan mana saja yang perlu diperbaiki dengan adanya kasus keracunan obat sirup tersebut. 

BPOM kata dia, sudah menindak perusahaan yang terlibat dalam lingkaran kasus tersebut. Salah satu penindakannya adalah mencabut izin edar dan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). 

Sejauh ini, sudah ada enam perusahaan farmasi yang dicabut izin edar dan sertifikat CPOB-nya. BPOM juga telah mencabut sertifikat CDOB terhadap dia distributor kimia yang menyalurkan zat kimia tidak sesuai standar farmasi tersebut ke perusahaan farmasi. 

"Kami sudah menyampaikan secara transparan apa saja gap-gap yang ada yang sudah berproses dan kita sudah lakukan perbaikan," tutur Penny. 

Kepala BPOM: Pandemi munculkan potensi obat herbal Indonesia

Penny lantas menyatakan bahwa BPKN tidak melibatkan penjelasan institusinya sebelum mengeluarkan temuan dan rekomendasi. Padahal menurut Penny, BPOM sudah menjelaskan secara gamblang hingga sore hari pada satu pertemuan. 

Menurut Penny, cara kerja pemeriksaan BPKN perlu mencontoh lembaga pemeriksa lain, baik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Ombudsman. Dua lembaga itu meminta respons terlebih dahulu sebelum membuat kesimpulan. Ia pun meminta BPKN menegakkan pemeriksaan yang berlaku adil untuk pihak terperiksa. 

"Ada tanya jawab terhadap hasil pemeriksaan. Jadi tahapannya itu saya kira para entitas pemeriksa itu punya tata cara yang berlaku fair. Bukan hanya mencari kesalahan, tapi adalah untuk mencari solusi bersama," tutur Penny. 

Lebih lanjut Penny merasa bahwa penjelasan BPOM tidak ada dalam rekomendasi yang dikeluarkan BKPN dan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Bahkan Penny mengaku BPOM tidak mendapatkan salinan dari hasil rekomendasi tersebut. 

Padahal lanjut Penny, BPOM sudah mengidentifikasi masalah dan melakukan koreksi dengan lintas sektor terkait kasus gagal ginjal akut. "Saya tidak tahu apakah (solusi) ada atau tidak di dalam (rekomendasi). Tapi saya kira tidak ada dalam rekomendasi tersebut. Jadi tanyakan legalitas tim pencari faktanya, apakah memang itu menjadi tugas pokok dan fungsi BPKN untuk melakukan pemeriksaan," demikian Penny.

Catatan: 

Penny K Lukito yang saat ini menjabat sebagai Perencana Ahli Utama Badan POM. Pelantikan Penny K. Lukito sebagai Pejabat Fungsional Ahli Utama didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia. Penggantinya adalah seorang Plt, yakni Rizka Andalucia, yang saat ini juga menjabat Dirjen Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Penny K Lukito yang menahkodai BPOM tahun 2016 sampai dengan tahun 2023 tercatat belum pernah diperiksa. Memang saat itu Penny K Lukito dikabarkan akan diperiksa Bareskrim Polri.

Akan tetapi Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri Brigjen Pipit Rismanto mengklarifikasinya. Bahwa pihaknya tidak pernah memanggil untuk memeriksa Penny K. Lukito sebagai saksi kasus itu. Tetapi yang diperiksa adalah pejabat-pejabat BPOM.

"Itu kok kepala Badan POM ya. Tidak ada, tidak ada pemanggilan Kepala BPOM. Kalau pejabat-pejabat terkait dengan masalah pengawasan mutu ya pasti di situ (dipanggil)," kata Pipit saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (23/11/2022) lalu.

Monitorindonesia.com, telah meminta tanggapan dari Penny K Lukito terkait penyidikan kasus ini, namun hingga berita ini diterbitkan belum ada jawaban. Kini pihak keluarga korban kasus gagal ginjal akut mendesak aparat penegak hukum (APH) agar menyeret aktor utama dalam kasus ini. Dan menuntut santunan kepada mereka segera direalisasikan.