'Pembegalan' Konstitusi Mental di Senayan, DPR Nyaris Petik Ceri!


Jakarta, MI - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad telah memastikan pengesahan RUU Pilkada yang direvisi batal dilaksanakan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Pilkada akan berlaku.
"Dengan tidak jadinya disahkan revisi UU Pilkada pada tanggal 22 Agustus hari ini, maka yang berlaku pada saat pendaftaran pada tanggal 27 Agustus adalah hasil keputusan Judcial Review (JK) MK yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora," ujar Dasco kepada wartawan.
Dasco menegaskan bahwa rapat paripurna hanya bisa diselenggarakan pada hari Kamis dan Selasa. Sehingga mustahil DPR mengesahkan RUU Pilkada pada Selasa pekan depan atau pada hari pendaftaran Pilkada. Pembahasan, tambahnya akan dilakukan dalam sidang DPR berikutnya, yang berarti perubahan tersebut tidak akan berlaku untuk pemilu tahun ini.
Pengesahan RUU Pilkada tadinya direncanakan akan berlangsung pada Rapat Paripurna, Kamis pagi (22/8). Namun rapat tersebut terpaksa ditunda karena jumlah anggota yang hadir secara fisik maupun daring tidak memenuhi kuorum.
BACA JUGA: Tak Kuasa Tahan Tangis di MK, Goenawan Mohamad: DPR Lawan Konstitusi Harus Dibubarkan
Dasco membantah telah berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo sebelum DPR memutuskan membatalkan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah. Menurutnya, tidak ada urgensinya untuk menemui Joko Widodo sebelum pembatalan tersebut.

Pada Kamis (22/8/2024) pagi, rapat paripurna DPR dibuka sekitar pukul 09.30 WIB. Namun setelah 30 menit, batas minimum kehadiran anggota tidak terpenuhi. Tiga Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat itu, Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk Paulus, dan Rachmat Gobel lantas menunda sidang hingga 30 menit.
Namun saat rapat dibuka kembali pada 10.00 WIB, rapat itu juga tidak memenuhi kuorum. Dasco menyebut tidak bisa menentukan sampai kapan rapat paripurna tersebut akan ditunda.
”Kami akan lihat mekanisme yang berlaku, apakah nanti mau diadakan rapat pimpinan dan Bamus. Itu ada aturannya. Saya belum bisa jawab, kami akan lihat lagi dalam beberapa saat ini,” jelasnya.
Angin segar
Pada Rabu (21/8/2024), atau hanya berselang satu hari, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap sebagai “angin segar” bagi demokrasi “dibegal” melalui persetujuan revisi Undang-Undang Pilkada yang berlangsung kilat di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ” kata dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini.
BACA JUGA: Revisi UU Pilkada Tak Jadi Disahkan
Delapan dari sembilan fraksi di DPR sepakat untuk hanya menerapkan sebagian putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah pada rancangan perubahan UU Pilkada.
Keputusan yang diambil dalam rapat kerja di Badan Legislasi DPR itu dianggap sebagai sebuah “pembangkangan” yang akan menghasilkan proses “demokrasi palsu” dalam pilkada 2024.
RUU Pilkada yang telah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah rencananya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (22/8/2024).
“Langkah-langkah DPR yang ingin mengubah apa yang menjadi isi putusan MK tentu saja bertentangan dengan konstitusi dan bisa disebut sebagai pembegalan atau pembangkangan terhadap konstitusi," jelasnya.
DPR nyaris saja petik ceri
Kata pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor, kalau sampai revisi UU Pilkada itu disahkan, maka peta pencalonan Pilkada akan kembali dikondisikan sesuai kepentingan para elite yang bersatu di dalam koalisi gemuk.
Partai-partai di parlemen yang dikucilkan dari koalisi seperti PDI-Perjuangan terancam tak bisa mengusung calon mereka sendiri. Ini setidaknya terjadi di DKI Jakarta.
Sebaliknya, revisi UU Pilkada soal batas usia akan membuka kembali peluang bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan diri.
Salah satu kesepakatan Baleg menyebut ambang batas parlemen dalam pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD.Artinya, partai dalam kategori ini dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan syarat yang tidak berkaitan dengan jumlah kursi mereka di DPRD.
Ketentuan ini serupa dengan putusan MK yang diambil satu hari sebelumnya.

Meski begitu, Baleg tidak memasukkan dua putusan MK lain dalam RUU Pilkada. Konsekuensinya, partai maupun koalisi partai yang memiliki kursi di DPRD harus memiliki setidaknya 20% kursi di dewan legislatif daerah atau 25% akumulasi suara di daerah tersebut untuk dapat mengajukan calon kepala daerah.
Kedua, dalam rancangan perubahan UU Pilkada, batas usia paling rendah untuk calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun saat pelantikan. Sementara batas usia terendah kepala daerah di tingkat kabupaten/kota adalah 25 tahun pada saat pelantikan.
Syarat batas usia itu tidak sesuai dengan putusan MK. Sebaliknya, seluruh fraksi, kecuali PDIP, sepakat mengacu pada putusan Mahkamah Agung.
Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai DPR memilih putusan MK yang menguntungkan kepentingan tertentu.
“DPR jelas melakukan cherry picking (memetik ceri). DPR mengakui putusan MK jika itu menguntungkan mereka, dan pada titik lain tidak mengakui putusan MK lainnya yang merugikan mereka. Ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan MK,” tuturnya.
“Aturan awalnya hak itu hanya dinikmati partai politik yang ada di DPRD, tapi sekarang malah yang di DPRD yang tidak punya hak gara-gara tafsir sembarangan dan akal-akalan DPR,” timpal Charles.
Menurut Charles putusan MK soal penghapusan ambang batas parlemen DPRD didasarkan pada upaya membentuk persaingan yang adil di antara partai politik.
Namun, kata Charles, persaingan yang adil itu justru dijegal DPR. “Itu kan lari dari pertimbangan MK, sebuah penghormatan dan pengakuan terhadap suara rakyat yang sudah diberikan kepada partai politik tertentu, sehingga partai itu juga harus diberi hak mengajukan kandidat,” beber Charles.
Bagaimana kalau RUU Pilkada disahkan?
Polemik syarat mendaftarkan calon kepala daerah ini belakangan sangat dikaitkan dengan Pilkada DKI Jakarta. Jika perubahan RUU Pilkada ini akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, PDIP berpotensi tak bisa mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Alasannya, mereka tak memenuhi syarat ambang batas parlemen di DPRD.
BACA JUGA: Massa Demo 'Darurat Indonesia': Kalau Kami Nggak Turun, Demokrasi akan Mati!
Meski begitu, Charles mendorong PDIP untuk tetap mendaftarkan kandidat mereka ke KPU. Menurutnya, langkah itu bisa menjadi pintu masuk untuk mempersoalkan penyelenggaraan Pilkada Jakarta “yang tak sesuai putusan MK”.

“Kalau seandainya pendaftaran itu ditolak KPU, PDIP bisa memiliki dasar hukum untuk mengajukan sengketa hasil Pilkada DKI ke MK. Jadi harus ada upaya konkret untuk tetap menggunakan keputusan MK dalam upaya mendaftarkan pasangan calon ke KPU. Mereka bisa gunakan itu untuk dasar menuju ke sengketa di MK,” jelasnya.
Sementara politikus PDIP Masinton Pasaribu menilai proses perubahan UU Pilkada yang berlangsung di Baleg “menyiasati putusan konstitusional MK” tersebut.
“Kita bisa mengakalinya dengan membuat peraturan, tapi kita tidak bisa membutakan kebenaran itu sendiri Pak Menteri,” kata Masinton.
Ada dua menteri yang menghadiri rapat kerja di Baleg itu adalah Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian serta Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Atgas.
Kronologi keluarnya putusan MK
Sidang perdana pengujian materiil UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) berlangsung pada tanggal 11 Juli 2024.
Baik Partai Buruh yang didirikan pada Oktober 2021 dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) - didirikan pada Oktober 2019 dan diketuai mantan presiden PKS Anis Matta - sama-sama tidak mempunyai kursi di DPRD Jakarta.
BACA JUGA: Teatrikal Massa Demo 'Darurat Indonesia': 'Penggal Kepala Jokowi'
Di tingkat nasional pun kedua partai sama-sama tidak memperoleh kursi dari total 580 kursi. Partai Buruh memperoleh 972.910 kursi atau 0.64%, sementara Partai Gelora 1.281.991 atau 0.84%.
Kepada MK, kedua partai menyatakan berhak mencalonkan kepala daerah baik secara individual maupun bergabung ke parpol lain karena telah memperoleh suara sah dalam Pemilu DPRD Tahun 2024.
Kuasa Hukum Said Salahudin mengatakan ketentuan UU Pilkada tentang ambang batas membuat kedua partai “kehilangan hak konstitusional dan kesempatan yang sama untuk mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah”.
Putusan MK itu keluar pada Selasa (20/8/2024).
Seperti dikutip Monitorindonesia.com, di laman resmi MK, Ketua MK Suhartoyo dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyebut rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau koalisi untuk dapat mengajukan calon kepala daerah.
Untuk Jakarta, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduknya mencapai 10,68 juta jiwa, parpol atau koalisi parpol harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5%.
BACA JUGA: Anggaran Pilkada 2024 Capai Rp37 Triliun, Tapi DPR Bikin Gaduh!
Dengan begitu, kini terbuka lebar kesempatan bagi partai-partai untuk mengajukan calon nominasi mereka. PDIP, misalnya, sebagai partai yang tidak tergabung dalam KIM Plus, bahkan bisa mengajukan calon sendiri karena persentase suara sahnya 14.01% pada pemilu DPRD 2024.
Hanya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion.
Suhartoyo menyatakan pendapat berbeda menyebut pasal yang digugat sudah konstitusional dan Mahkamah seharusnya menolak permohonan.
Selain ambang batas suara, MK juga menegaskan aturan batas usia untuk calon kepala daerah dalam Pilkada. Mahkamah menekankan syarat usia calon kepala daerah harus terpenuhi saat penetapan pasangan calon peserta Pilkada oleh KPU dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan pada Selasa (20/8/2024).
Putusan MK menutup jalan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada 2024. Sebelumnya, dia disebut-sebut akan maju dalam Pilkada Jawa Tengah.
Kaesang yang juga Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024. Sementara penetapan pasangan calon KPU adalah 22 September.
Dalam putusannya, MK menyatakan batas usia minimal 40 tahun untuk calon presiden dan calon wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945.
Presiden Joko Widodo pun, sebenarnya sudah mengeluarkan surat presiden bernomor R.02PRESIDEN012024 bertanggal 24 Januari 2024.
Surat itu berisi penunjukan wakil pemerintah untuk membahas perubahan UU Pilkada bersama DPR.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyebut telah berlangsung enam rapat terkait penyusunan daftar inventaris masalah dan perubahan substansi pada RUU Pilkada. Rapat itu digelar pada 21, 28, dan 29 Desember 2023 serta pada 4, 5, dan 8 Januari 2024.
Menuai gelombang protes
Rencana revisi UU Pilkada oleh DPR dan pengabaian keputusan Mahkamah Konstitusi menuai gelombang protes di berbagai daerah. Berbagai kelompok massa turun ke jalan –jalan, termasuk selebritas dan tokoh publik.
Figure ikut menyuarakan keprihatinan atas rencana revisi UU Pilkada. Aktor Reza Rahardian, termasuk yang ikut berunjuk rasa di depan gedung DPR/MPR, Jakarta.
Reza bahkan naik ke mobil komando dan menyampaikan orasi. Reza menyebut tidak bisa tinggal diam melihat demokrasi dan konstitusi dipermainkan.
“Melihat bagaimana MK yang sedang berusaha mengembalikan citranya dan hari ini kita mendapatkan sebuah keputusan yang sangat kita hormati dari MK masih juga berusaha untuk dibegal,” kata Reza Rahardian.

Di samping demonstrasi di DPR, sejumlah guru besar, cendekiawan, dan aktivis 98 juga menyampaikan pernyataan sikap di depan Mahkamah Konstitusi. Pernyataan mereka ini dibacakan oleh pakar politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubeidilah Badrun.
"Demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Bahkan sendi-sendi demokrasi telah dirobek oleh kekuasaan. Sejumlah peristiwa empiris telah menunjukkan kebenaran kesimpulan itu. Melalui praktik kekuasaan yang disebut sejumlah ilmuwan sebagai legalisme autokratik," ujarnya.
Ubeidilah mencontohkan peristiwa empiris tersebut di antaranya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019, pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023 yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra sulung dari Presiden Joko Widodo, maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2024.
Ia juga menyebutkan adanya sejumlah represi terhadap aktivis akademisi, aktivis buruh, aktivis lingkungan, dan sebagainya. Apalagi, lanjutnya, peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tidak dituntaskan dan bahkan banyak peristiwa pelanggaran HAM baru.
Koalisi akademisi dan aktivis ini juga menyatakan mahkamah Konstitusi harus berdiri tegak untuk menjunjung tinggi dan menegakkan demokrasi. Mereka menegaskan bahwa rakyat siap bergerak demi menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
KPU tak ubah sikap
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan ikut putusan MK berkaitan dengan perubahan norma dalam UU Pilkada, meskipun DPR melakukan akrobat politik dengan menempuh revisi kilat dalam 7 jam melalui Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Rabu (21/8/2024) kemarin.
Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin menegaskan, tidak ada perubahan sikap KPU dibandingkan yang disampaikan pada Selasa (20/8/2024) setelah putusan MK terkait UU Pilkada terbit.
BACA JUGA: Orasi Depan Gedung DPR, Komika Bintang Emon Sindir Kaesang: Kalau Belum 30 Jangan Nyalon Ya Dek!
"Kami sampaikan, kami ulangi lagi, sebagaimana berita beredar, KPU dalam hal ini sudah menempuh langkah untuk menindaklanjuti putusan MK. Jadi kalau pertanyaannya apakah KPU menindaklanjuti putusan MK, kami tegaskan KPU menindaklanjuti putusan MK," kata Afif, Kamis (22/8/2024).

Afif juga menyatakan kembali, dalam rangka menindaklanjuti putusan MK ke dalam peraturan KPU (PKPU), KPU perlu menempuh konsultasi terlebih dengan pembentuk undang-undang. Namun, ia menegaskan, konsultasi itu sekadar bentuk "tertib prosedur".
Pasalnya, berdasarkan Putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016, KPU wajib menempuh konsultasi dengan DPR dan pemerintah sebelum menerbitkan PKPU. Pada putusan lain MK tahun 2017, Mahkamah memutus hasil rapat konsultasi tersebut tidak mengikat bagi KPU. (an)
Topik:
Revisi UU PIlkada Putusan MK Demo Pembegalan Konstitusi Pembangkan DPR Begal KonstitusiBerita Sebelumnya
Krisdayanti Mundur dari Pilkada Kota Batu
Berita Terkait

Wow! 959 Orang jadi Tersangka Kerusuhan Demonstrasi 25-31 Agustus 2025
24 September 2025 16:57 WIB

16 Orang jadi Tersangka Pengrusakan saat Demo di Jakarta dari 4 TKP
15 September 2025 20:30 WIB