Nikel di Maluku Utara: Mewah di Permukaan, Masalah di Bawah

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 Juli 2024 22 jam yang lalu
Penjabat Gubernur Maluku Utara, Samsuddin Abdul Kadir saat memberikan sambutan pada Rakorda Kajian Hilirisasi Investasi Strategi Sektor Mineral dan Batubara Tahun 2024 di Bela Sahid Hotel, Ternate, Kamis (25/7/2024) (Foto: Biro Adpim)
Penjabat Gubernur Maluku Utara, Samsuddin Abdul Kadir saat memberikan sambutan pada Rakorda Kajian Hilirisasi Investasi Strategi Sektor Mineral dan Batubara Tahun 2024 di Bela Sahid Hotel, Ternate, Kamis (25/7/2024) (Foto: Biro Adpim)

Ternate, MI - Di tengah sorotan nasional dan internasional, Maluku Utara (Malut) kini berada di pusat perhatian sebagai provinsi dengan cadangan nikel yang melimpah. Namun, di balik kemilau logam yang menggoda investasi besar-besaran, ada harga sosial dan lingkungan yang tak bisa diabaikan. 

Melalui siaran pers tertiulis dari Biro Administrasi Pimpinan (Adpim) Setdaprov Malut, Penjabat Gubernur Maluku Utara, Samsuddin Abdul Kadir, dengan bangga mengungkapkan bahwa provinsi ini memiliki sumber daya nikel terbesar kedua di Indonesia. 

"Maluku Utara menjadi wilayah dengan sumber daya dan cadangan logam nikel kedua terbesar di Indonesia dengan jumlah sumber daya sebesar 38.077.361 ton dan cadangan sebesar 16.004.731 ton yang tersebar di 79 lokasi," ujarnya saat memberikan sambutan pada Rakorda Kajian Hilirisasi Investasi Strategi Sektor Mineral dan Batubara Tahun 2024 di Bela Sahid Hotel, Ternate, Kamis (25/7/2024).

Produksi nikel yang menakjubkan pada tahun 2023 mencapai 39.942.641 WMT, menjadikan Kabupaten Halmahera Tengah sebagai penyumbang terbesar dengan total produksi 14.672.174 ton WMT, diikuti oleh Kabupaten Halmahera Selatan dan Halmahera Timur dengan masing-masing 13.291.607 ton WMT dan 11.978.860 ton WMT. Angka-angka ini seolah-olah melambangkan kesuksesan luar biasa, namun kenyataannya jauh lebih kompleks.

"Dampak ekonomi dari adanya hilirisasi nikel di Maluku Utara berimplikasi pada terpacunya pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang meningkat dengan mencatatkan pertumbuhan dobel digit dan menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia," kata Samsuddin. 

Memang, pertumbuhan ekonomi yang tercatat pada tahun 2021 mencapai 16,79 persen, kemudian melonjak menjadi 22,94 persen pada tahun 2022, meskipun menurun sedikit menjadi 20,49 persen pada tahun 2023. Namun, di balik statistik yang mengesankan ini, tersimpan realitas pahit yang harus dihadapi oleh masyarakat lokal.

"Dari sisi yang lain ada persoalan sosial dan lingkungan yang masih memerlukan kajian yang lebih mendalam," akui Samsuddin dengan jujur.

Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, meski kaya akan nikel, masih mencatat persentase penduduk miskin tertinggi, masing-masing sebesar 12,47% dan 11,44%. "Tingginya laju pertumbuhan ini dikarenakan adanya peningkatan yang signifikan pada aktivitas dua sektor utama, yaitu Sektor Pertambangan dan Penggalian serta Industri Pengolahan sejak tahun 2021 seiring dengan beroperasinya smelter pengolahan bijih nikel di beberapa daerah," tambahnya. 

Lebih dari itu, dampak lingkungan dari aktivitas tambang ini sangat mengkhawatirkan. "Menjadi perhatian kita bersama bahwa saat ini fenomena alam yang mengakibatkan curah hujan besar telah membuat salah satu wilayah yang didalamnya ada pertambangan sedang mengalami banjir besar bahkan karyawan dan masyarakat disekitar lingkar tambang harus mengungsi," tegas Samsuddin. 

Fenomena alam ini menjadi cerminan nyata bagaimana aktivitas tambang dapat memperparah kerentanan lingkungan, membawa bencana bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Staf Khusus Bidang Reformasi Birokrasi Kementerian Investasi (BKPM) RI, M.M. Azhar Lubis, mengungkapkan bahwa hilirisasi ini memerlukan investasi besar-besaran hingga mencapai US$ 618 miliar sampai dengan tahun 2040. 

"Kedeputian hilirisasi pada tahun 2022 telah menyusun peta jalan hilirisasi investasi untuk pengembangan 21 komoditas, dan pada tahun 2023 ditambah lagi 7 komoditas sehingga menjadi 28 komoditas," kata Azhar. 

"Di tahun 2023 dibidang hilirisasi dan investasi telah menyumbang Rp 375 Triliun atau 26% dari capaian hilirisasi investasi sebesar Rp 1418 Triliun," ungkapnya. 

Dari jumlah tersebut, sektor mineral menyumbang Rp 216 Triliun, terdiri dari nikel sebesar Rp 136 Triliun, bauksit Rp 9,7 Triliun, dan tembaga Rp 70,5 Triliun.

Melalui Rakorda ini, diharapkan terjalinnya sinergi yang kuat antara pemerintah daerah, stakeholder, dan pelaku usaha untuk memetakan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta menemukan solusi yang tepat. 

"Partisipasi aktif dari peserta Rakorda sangat diharapkan untuk memberikan masukan atau rekomendasi yang bisa memperbaiki yang perlu diperbaiki," tutup Azhar dengan penuh harapan. (RD)